Sebuah "HANYA" untuk IRT

“Sudah dek, gak perlu sedih! Prestasi akademik waktu kuliah itu bukan sebuah ukuran atas kesuksesan seseorang. Ada kok teman mbak. Semasa kuliah dulu dia selalu menjadi yang terbaik, IPK di atas rata-rata. Tapi, coba lihat sekarang. Dia hanya menjadi seorang ibu rumah tangga..”.


OO..ooh, tidaaak! Kenapa harus ada statemen seperti itu??.

Entah kenapa, setiap mendengar kata Ibu Rumah Tangga, bisa dibilang saya sangat sensitif. Bahkan ketika saya sedang asyik membicarakan hal lain, tiba-tiba mendengarkan sesuatu yang berbau IRT, rasanya telinga dan hati tak dapat dikompromi. Mereka berdua langsung selingkuh pada pembahasan IRT yang sedang dibicarakan.

Apa karena saya memang menjadi Ibu Rumah Tangga tulen? Bisa jadi. Atau karena tidak terima kok sepertinya IRT dipandang sebelah mata? Atau memang saya termasuk orang ynag sensitif bangeeeeet? Heeheehee....,

Sepertinya, ketiga-tiganya merupakan jawaban yang benar. Saya memang IRT tulen, yang itu pastinya menyebabkan saya jauh lebih sensitif dari pada yang lain. Maklum lah, pelaku!. Awalnya saya merupakan salah satu tenaga pengajar di madrasah swasta dan madrasah diniyyah di salah satu pesantren. Otomatis, pagi hari saya di sekolah swasta dan malam ,harinya saya di madrasah diniyyah. Satu tahun kemudian, Alhamdulillah saya diberi anugerah anak yang ke-2 oleh Allah swt. Jarak anak kedua yang bisa dibilang sangat dekat dengan anak yang pertama, satu tahun setengah.

Mengingat amanah dan anugerah luar biasa yang Allah berikan ini, saya memutuskan untuk berhenti mengajar dan memilih menghabiskan waktu bersama mereka. Sungguh, keputusan yang sebenarnya banyak disayangkan oleh yang lainnya, tapi maaf. TIDAK BAGI SAYA. ;)

Jika dibilang saya egois (lha yo, dari mana ya?), ya maaf. Tapi saya rasa, justru karena saya berhasil menghilangkan yang awalnya saya merasa itu ke-‘ego’an saya, akhirnya keputusan IRT itu saya ikrarkan. Saya rasa, saat ini orang-orang sudah banyak sekali yang memperebutkan untuk menjadi pengajar di beberapa lembaga. Sedangkan untuk merawat anak dan menjadi Ibu Rumah Tangga Tulen, sepertinya sudah mulai krisis. Jadi saya berhenti, Why Not? Masih buanyak pengganti untuk saya di lembaga, tapi untuk dua anak balita di rumah? Siapa yang akan menemani mereka?. Lagi-lagi, MAAF. Tidak saya izinkan orang lain untuk selalu menjadi The First One, melihat tahap demi tahap perkembangan anak saya. Karena sungguh luar biasa. Melihat mereka tersenyum dan tumbuh kembang dengan baik di tangan kita, merupakan hal yang sangat membahagiakan.

Membicarakan ke-‘ego’-an yang saya utarakan, terus terang (mau jujur apa jujur banget ya..., hehehe..), beberapa bulan setelah menikah, saya ingin untuk menjadi wanita yang tidak hanya melakukan segala aktifitas di rumah. Bagi saya (ingat! Ketika itu lho ya..!), saya merasa keren banget seorang wanita yang setiap pagi memakai baju dinas, berangkat kerja, dan pulang. Pagi kerja, malam untuk keluarga, kenapa tidak? Terlebih ketika masih banyak orang-orang, -bahkan orang-orang yang berpendidikan- di sekeliling saya, beranggapan bahwa perempuan yang bisa beraktifitas di luar rumah, merupakan perempuan yang hebat, perempuan yang sukses. Sebaliknya, perempuan yang total beraktifitas di rumah dianggap perempuan yang HANYA. Ya, HANYA beraktifitas di rumah. Dari sanalah saya ngebet pakek banget, untuk menjadi ibu rumah tangga yang go publik. Tapi....,

TIDAK untuk saat ini. Berawal dari tekad ingin merawat anak fulltime, dan dukungan penuh dari suami tercinta, saya mulai sadar akan pentingnya peran dan kehadiran ibu bagi anak-anak, khususnya anak usia balita. Seperti yang kita tahu, balita merupakan masa keemasan dimana, semua yang mereka lihat, alami, dan rasakan akan sangat melekat pada diri mereka. Di saat itulah peran ibu sangat dibutuhkan. Ibu yang bisa menjadi ibu, teman, sahabat, dan menjadi apapun yang mereka butuhkan. Tidak bisakah peran ini diganti dengan orang lain? Bisa. Tapi, apakah bisa ikatan batin antara ibu dan anak dapat terganti dengan ikatan batin antara anak dan orang lain?. Jika jawabannya “tidak bisa”, bagaimana anak-anak kita dapat memperoleh “rasa” yang mereka butuhkan jika tidak bersama ibu mereka? Dan jika pada akhirnya “bisa”, relakah posisi kita sebagai ibu, terganti oleh yang lain?

Mengurus anak-anak di rumah adalah bukan hal yang mudah dan dapat diremehkan. Jika kita bayangkan peran IRT (Jangan sambil merem ya.., ntr ketiduran, heee..) Mulai bangun tidur hingga tidur lagi, segala tingkah laku kita, segala yang kita ucapkan tak lepas dari perhatian anak-anak. Selama 24 Jam di rumah kita harus menjadi pendidik, dengan memberikan teladan yang baik bagi mereka. Melalui pembiasaan teladan yang baik dari kita inilah, karakter mereka mulai terbentuk. Belum juga dengan uji kesabaran yang mereka berikan pada kita. Bagaimanapun tingkah “nakal” mereka, kita harus bersikap halus dan lembut dalam menyikapinya. Kreasi mereka menjadikan rumah berantakan, baju yang mulai banyak tambahan warna di sana-sini, dan sikap mereka ynag sama-sama rebut perhatian ibunya, merupakan kegiatan yang tak mungkin absen dalam keseharian ibu rumah tangga. Sering sekali seorang ibu harus meninggalkan pekerjaan rumah yang lain, untuk menjadi robot, monster, penjual, dan hal apapun untuk menemani anak-anak bermain dalam mengembangkan keterampilan motorik dan komunikasi anak. Dan hal itu tidak mudah. Terlebih ketika kita sudah benar-benar lelah.

Dan belum juga, dengan kewajiban istri dalam mengurus dan melayani suami. Bangun lebih pagi dan menjadi penanggung jawab terhadap anak-anak dan semua yang ada di rumah ketika suami di luar. Suami mana yang tidak suka, jika dalam keadaan capek pulang kerja, setelah seharian beraktifitas di luar, disambut dengan senyum manis sang istri, makanan yang disediakan, rumah yang rapi dan indah, dan anak-anak yang lucu dan ceria. Semua laki-laki pasti mengimpikannya.

Bagi saya hal ini bukanlah hanya sekedar kewajiban yang harus dilakukan oleh istri dan ibu. Lebih dari itu, ada kenikmatan sungguh luar biasa yang hanya dapat dirasakan oleh Ibu Runah Tangga. 24 jampun rasanya tak kan pernah cukup untuk benar-benar menjadi Ibu Rumah Tangga. Subhanallah...., masihkah kita menganggap peran itu hanyalah sebuah HANYA?


Paiton, 0104’16 (23.21 WIB)

Bumiku Sayang, Bumiku Cinta

“Bumi 2082....”


“Apakah kita begitu sukanya bermain-main hingga mendahulukannya di atas tanggung jawab pada masa depan planet ini? Aku Cuma bilang kalau itu pertanyaan bagus.”

Itulah salah satu kutipan kalimat dalam novel karya Jostien Gaarder, Dunia Anna. Pertanyaan untuk kita, sebagai manusia yang dengan puasnya menikmati beragam fasilitas elektronik, mesin dengan seenaknya tanpa memikirkan akibatnya untuk anak cucu kita mendatang. Tak dibayangkan bagaimana usia bumi di tahun itu. Saat ini, 67 tahun sebelum  waktu itu datang bumipun mulai menunjukkan ketidak ramahannya. Cuaca yang bersih sejuk, bebas polusi, mulai sulit dinikmati. Hewan, tumbuhan, sedikit demi sedikit mulai langka dan bahkan sebagian hilang keberadaannnya. Ketidak ramahan yang sebenarnya ditimbulkan oleh salah satu penghuni buimi itu sendiri, manusia.

Hadirnya novel ini sangat istimewa. Ditengah yang lain sibuk membicarakan tentang bisnis, fashion, entertaint, tehnologi, dan sebagainya, novel ini justru hadir menyadarkan kita tentang tugas dan kewajiban kita sebagai manusia dalam merawat bumi dan semesta. lewat daya imajinasi tinggi sang penulis, novel filsafat semesta dan manusia ini mampu menyihir sang pembaca masuk dalam kurun waktu atau bahkan dunia yang berbeda.

Anna, seorang remaja berusia 16 tahun yang mempunyai daya imajinasi sangat tinggi. Seringkali apa yang keluar dari mulutnya membuat orang-orang terpukau atau bahkan dianggap sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal. Hal ini membuat keluarga sepakat untuk membawa Anna ke psikiater, walaupun Anna sendiri tidak merasa dirinya sedang sakit. Namun alangkah terkejutnya, ketika sang psikiater, dr. Benjamin justru menganggap itu sebuah keistimewaan. Daya imajinasi yang sangat jarang dimiliki oleh setiap orang.

Dengan keistimewaannya ini, Anna juga menulis surat untuk sang cicit Nova di tahun 2082. Sungguh hal yang sangat misterius. Bagaimana mungkin, Anna yang ketika itu masih  berusia 16 tahun dia mengetahui bahwa kelak akan mempunyai cicit yang bernama Nova. Tidak hanya itu, di surat elektroniknya untuk sang cicit, Anna dapat merasakan keresahan Nova, menggambarkan keadaan bumi di  usia Nova yang menginjak remaja, tahun 2082. Bumi yang sudah hilang keindahannya, spesies-spesies yang punah, tanah yang tenggelam, kutub yang meleleh, isi bumi yang tak tersisa, dan lainnya. Bahkan tidak jarang, dalam hidup kesehariannya, Anna merasa mempunyai peran ganda. Adakalanya dia menjadi dirinya sendiri, Anna. Dan tak jarang dia menganggap bahwa dirinya adalah Nova. Seuatu yang sangat membingungkan.

Belum lagi, kisah cincin misterius yang melingkar di jari lentik Anna. Cincin pemberian tante Sunniva, cincin turun temurun yang dipercaya memiliki kelebihan. Cincin yang bahkan tidak jelas asal muasalnya.

Hingga akhirnya Nova sang cicit dalam imajinasi Anna, protes besar-besaran pada sang nenek buyut, atas rusaknya bumi yang tak lain diakibatkan oleh tidak bertanggungjawab nya generasi-generasi terdahulu, termasuk generasi nenek buyutnya Anna, saat ini. Generasi 70-an tahun sebelum Nova Lahir. Lewat protes sang cicit ini, Anna berusaha untuk melakukan segala hal demi lestarinya bumi di usia puluhan tahun mendatang. Bersama Jonas, pacar Anna dia melakukan aksi dengan mengumpulkan segala artikel mengenai eksistensi bumi dan semesta. Merasa sangat iba dengan keadaan bumi di usia mendatang dan benar-benar merasa tanggung jawab atas beribu protes yang dilontarkan Nova sang cicit untuknya.

Nah, di sinilah kehebatan sang penulis Joestin Gaarder yang sudah menjadi ciri khasnya. Lewat novel filsafat-imajinatif, dia mampu menyadarkan kita akan eksistensi bumi dan manusia. Tidak hanya menyadarkan, penulis juga memberikan contoh aksi nyata kita dalam melestarikan bumi, yang dilakukan oleh Anna dan Johan.

Pertama mereka mengkliping segala sesuatu yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan. Mereka mendirikan organisasi peduli lingkungan, dengan segala kegiatan yang mendukung di dalamnya. Sampai pada planning mereka yang suatu saat akan ada mesin “otomat hijau” di pojok-pojok jalan, stasiun-stasiun, bandara, mall, dan seluruh penjuru dunia lainnya. Dengan mesin otomat hijau, orang-orang bisa menggesekkan kartu dan memasukkan kode spesies yang akan dibantu. Kemudian video berkualitas tentang spesies tersebut ditampilkan. Sistemnya, semacam TV berbayar. Sungguh indah, bukan?. Sesuatu yang seakan tak mungkin, namun dapat terjadi sebagai tanggung jawab kita sebagai penghuni bumi saat ini.

Yang tak kalah menarik, penulis juga membumbui novel ini dengan kisah roman ala remaja yang nyata. Tak berlebihan, namun sangat terasa. Sedikit, namun sangat mewakili. Bagaimana Jonas dan Anna ketika berbicara, berinteraksi, dan bagaimana bahasa tubuh mereka yang terkesan keromantisannya.

 Namun  segala sesuatu tak ada yang sempurna. Pun demikian dengan  novel “Dunia Anna” ini. Menurut peresensi, novel ini tidak bisa dinikmati oleh kalangan luas. Jenis novel yang berbau filsafat dan perenungan akan eksistensi bumi dan semesta menjadi penyebabnya. Bacaan yang bisa dibilang tidak sederhana dan butuh sedikit waktu untuk memahaminya. Ditambah lagi dengan dunia hayal yang sangat tinggi. Kita diajak untuk sejenak “pergi” dari dunia nyata kita. Dan sekali lagi, ini tidak mudah. Seringkali peresensi bingung, “ini di dunia yang mana, ya?” Akan tetapi, hal ini tidak demikian dengan orang yang sudah bersahabat dengan novel-novel fantasi filsafat.

Novel yang sangt dianjurkan bagi kita generasi muda, sebagai penanggung jawab dari indahnya bumi yang kita nikmati. Jangan sampai kita dituntut oleh anak cucu kita karena mereka tidak bisa menikmati apa yang kita nikmati sekarang dari indahnya bumi dan semesta. Walaupun ternyata hal itu sebuah keniscayaan untuk zaman sekarang, paling tidak kita dapat meminimalisir kerusakan bumi di puluhan atau bahkan ratusan tahun mendatang. Tak perlu menunggu waktu, tak perlu menunggu siapa. Mulailah saat ini dan dari diri kita sendiri.  Semoga Bermanfa’at.! J


Judul               : Dunia Anna

Penulis             : Joestin Gaardeer

Cetakan           : II (14 November 2014)

Penerbit           : Mizan

Tebal Hal.        : 244


Memetakan Potensi Unggul Anak


Anak merupakan anugerah dari yang maha kuasa. Setiap anak dilahirkan dengan beragam potensi yang menjadi keunggulannya masing-masing. Diantara mereka ada yang berpotensi di bidang melukis, bernyanyi, berhitung, ilmu alam, dan sebagainya. Setiap keunggulan anak tidak bisa dianggap remeh. Tidak ada satu keunggulan yang lebih baik dari keunggulan yang lainnya. Masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri karena semua itu adalah potensi alami yang dibawa setiap anak ketika lahir di dunia. 

Sungguh sangat disayangkan jika seorang anak dipaksa untuk memahami atau bahkan mendalami beberapa bidang yang itu bukan menjadi potensi unggulnya. Semisal memaksa anak untuk menjadi petenis karena orangtuanya ahli di bidang tenis. Walaupun ada pepatah yang mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, namun tidak semua anak mempunyai potensi yang sama persis dengan orangtuanya. Kasus seperti ini, sudah seperti makanan sehari-hari di sekitar kita. Bahkan sistem negara kitapun mencekoki anak dengan beragam bidang keahlian di setiap harinya. Bayangkan bagaimana jika anak tidak ahli dalam ilmu hitung, namun dia dituntut untuk mendapatkan nilai yang tinggi di dalamnya. Padahal kita tahu bahwa otak kita tidak akan bekerja maksimal jika kita melaksanakan sesuatu itu dengan perasaan unhappy. 

Melihat realitas yang demikian, Ayah Edy, sang maestro parenting, memberikan angin segar kepada kita sebagai orangtua, dalam hal memetakan potensi unggul yang dianugerahkan Tuhan kepada anak kita. Dalam bukunya “Rahasaia Ayah Edy Memetakan Potensi Unggul Anak”, Ayah Edy menyebutkan bahwa setiap anak lahir dengan membawa beragam potensi yang dianugerahkan Tuhan padanya. Diantara beragam potensi tersebut, pasti ada satu potensi unggul yang dia miliki. Nah di sinilah, menurut Ayah Edy, tugas kita sebagai orangtua untuk mengasah potensi unngul yang mereka miliki. 

Lebih lanjut, Ayah Edy menyarankan agar orangtua menfokuskan anak pada satu bidang yang menjadi potensi unggulnya, kemudian mengasahnya semaksimal mungkin sehingga menjadi kualitas dunia. Pernyataan ini sangat cocok dengan realitas yang ada. Coba kita lihat, dokter spesialis pasti lebih dipercaya atau “laku” dibanding dokter umum yang sekedar mengetahui hal-hal dasar dalam bidang medis, namun tidak mendalaminya. Secara sosial dan finansial pun dokter spesialis lebih bergengsi dan lebih tinggi. 

Ada lima langkah pemetaan potensi yang dipaparkan Ayak Edy dalam buku setebal 216 halaman ini. Langkah I: Menyusun Progtam Stimulasi, yakni dengan memperkenalkan anak pada berbagai macam kegiatan dan profesi. Langkah II: Membuat Daftar Minat dan Bakat. Dengan daftar ini, orangtua akan lebih gamblang mengetahui bidang yang diminati dengan memberikan skor terhadap minat, bakat, serta konsistensi mereka. Langkah III: Uji Coba Minat dan Bakat Anak, di mana hal ini bisa dilakukan dengan memfasilitasi anak dalam mengasah bakatnya. Misalnya dengan ikut kursus atau memanggil guru privat. Di bidang manakah dia lebih konsisten. Langkah IV: Penajaman Profesi, langkah ini mulai mengerucut, dengan mengetahui spesialisasi minat dan bakatmya untuk kemudian diasah. Langkah V: Make A Life Plan, langkah ini bagaikan peta untuk membantu anak mencapai tujuannya. Seperti tahun berapa ia harus mencapai cita-citanya, harus bersekolah di mana, dan sebagainya. 

Selain resep cara pemetaan di atas, buku ini juga memberikan motivasi yang sangat besar terghadap orangtua dalam menghadapi “keunikan” anaknya. Ayah Edy menyebutkan bahwa tidak ada satupun anak yang tidak mampu, telmi, tidak normal, atau istilah apapun yang menunjukkan kesan negatif pada kemampuan anak. Ketika anak dicap oleh sebagian orang sekitarnya dengan sebutan-sebutan tersebut, hal itu merupakan kesalahan fatal. Padahal kenyataannya, justru kita yang belum menemukan kelebihan atau potensi unggul yang dia miliki. Tidak ada anak yang lahir dengan kekurangan, justru mereka lahir dengan membawa kelebihan mereka masing-masing. Nah, disinilah peran orangtua, selaku orang terdekatnya untuk selalu memberikan motivasi dan memetakan kemudian mengasah potensi unggul mereka yang masih tersembunyi.

Buku ini juga dilengkapi dengan berbagai tanya jawab dan berbagai kisah inspiratif yang menggetarkan jiwa. Salah satunya kisah Martha yang dicap Slow Learner oleh para terapisnya. Namun berkat orangtuanya yang menemukan potensi unggulnya di bidang tata rias dan kecantikan, yang kemudian dimotivasi serta didukung penuh, akhirnya si telmi itu, sekarang kita kenal dengan nama Martha Tilaar, salah satu pengusaha besar kosmetik di Indonesia. 

Melihat berbagai kelebihan yang disajikan oleh Ayah Edy dalam bukunya ini, tidak berlebihan kiranya, jika peresensi mengatakan buku ini merupakan bacaan wajib bagi orang tua yang ingin menjadikan putra-putrinya senang, dan sukses dalam menjalankan aktivitas sesuai dengan minat bakat yang dimilikinya. Namun, terkadang untuk mengetahui kelebihan itu sendiri, kelebihan memang sering berjalan beriringan dengan kekurangan, demikian halnya dengan buku ini. Peresensi sedikit kurang enjoy dengan sebagian sistematika penulisan buku Ayah Edy ini. Hal ini penulis rasakan ketika membaca bagian “Lima Langkah Pemetaan Potensi”. Dalam sub Judul di dalamnya, penulis tidak langsung menyebutkan lima langkah ynag disampaikan. Penulis justru menyebutkan panjang lebar terlebih dahulu tentang kesuksesan. Sehinga pembaca merasa kurang fokus pada isi dari sub judul yang ada. Namun, kekurangan ini cukup tertutupi dengan kualitas isi buku yang ada di dalamnya.

Akhirnya, mari kita sebagai orang tua mempersiapkan dan mendukung sedini mungkin potensi unggul yang dibawa anak-anak kita. Janganlah menuntut mereka menjadi apa yang kita inginkan. Meminjam perkataan Sayyidina Ali: “didiklah anak-anakmu seseuai dengan zamannya”.

Data Buku
Judul : Rahasia Ayah Edy Memetakan Potensi Unggul Anak
Penulis : Ayah Edy
Penerbit : Noura Books, Jakarta
Cetakan : V, September 2014
Tebal : 216 halaman
ISBN : 978-602-1606-38-4

Cinta Penuh Liku

Perempuan manakah yang tak goyah jika disuguhi rayuan manis khusus untuk dirinya? Terlebih jika yang merayu merupakan orang yang selama ini sangat dikaguminya. Pastilah tak dapat dipungkiri rasa senang yang membuncah di hatinya.

Demikianlah yang dialami oleh Fira Anggraheni, gadis remaja yang mandiri dan penuh tanggung jawab, dalam novel Kuingin Jadi Sajadahmu. Robert Brady, cheef kenamaan yang lama dikaguminya memintanya untuk bersedia menjadi pendamping hidupnya. Fina sangat haru dan seakan tak percaya terhadap apa yang dialaminya. Namun, seperti biasa ia selalu meminta pertimbangan terhadap Farid, adik semata wayangnya. Spontan, Farid yang juga tahu perasaan senang kakakya langsung mengiyakan (hal. 126-136).

Sayang, sangat singkat ia mengenyam madu manis pernikahan dengan Robert. Dalam usia kehamilannya yang baru menginjak usia empat bulan, ia ditinggal dengan cara sadis oleh suaminya. Sepulang menjalani syuting di Sumatra, Robert yang ia kenal dengan penuh halus, lembut dan kasih sayang tiba-tiba berubah menjadi bak harimau gila yang ganas menakutkan. Di dalam kamar, Robert dengan paksa membekap mulut Fina dengan sapu tangan. Perlahan Fina lemas dan tak sadarkan diri.
Alangkah kagetnya ketika Fina menemukan surat cerai dan foto-foto telanjang dirinya dengan suami dan Gaino teman suami bejatnya. Dalam tidak sadarnya, tubuh wanita yang bertubuh buncit itu telah dikeroyok oleh dua lelaki bejat yang telah dilumuri nafsu setan (hal. 142-148).

Kisah pertemuan Fina dengan Robert berawal dari lomba masak di Jakarta yang diikutinya. Pada usia yang sangat muda, ia dan Farid ditinggal mati oleh kedua orangtuanya dalam sebuah kecelakaan. Keadaan seperti itulah, yang membuatnya menjadi wanita mandiri, tanggung jawab, dan penuh perhatian kepada adik semata wayangnya. Setiap hari dengan tangannya yang ahli memasak, ia menjual nasi uduk di pasar untuk memnuhi biaya hidup dan biaya sekolah adiknya. Walaupun ia mempunyai seorang paman yang baik hati, ia tak ingin menjadi benalu dalam kehidupan pamannya. Ia tak ingin tergantung pada siapapun. Untuk itu, kemudian ia lebih memilih hidup mandiri walau dengan keadaan yang serba pas-pasan.

Hingga suatu ketika, ia bermimpi untuk merubah nasib hidunya. Dengan keterampilan masak yang ia miliki ia bertekad untuk menjadi juara lomba memasak yang diadakan di ibu kota. Robert yang ketika itu menjadi juri perlombaan merasa kagum dengan masakan olahan Fina. Bersamaan dengan kehendak Tuhan, akhirnya iapun menjadi juara dan mendapat hadiah rumah mewah di ibu kota. Dari sana pulalah cinta tragisnya dengan sang juri dimulai.

Begitulah sekilas isi novel karya Fahri F. Fathoni ini. Novel sederhana namun memberikan banyak hikmah atau pelajaran pada para pembacanya. Novel ini sangat pantas dinikmati oleh kalangan remaja, dewasa, ataupun mereka yang ingin menentukan pendamping hidupnya. Dengan cerita tersebut kita bisa lebih hati-hati dan waspada dalam menentukan pasangan hidup. Kita harus lebih hati-hati, dengan tidak hanya menilai seseorang dari dhohir-nya saja.

Selain itu, novel ini juga bisa dibilang novel motivasi bagi mereka yang sedang jatuh dalam keadaan terpuruk. Bagaimana Fina bangkit dengan semangat hidupnya ketika ia ditinggal mati oleh orang tuanya, dan bagaimana pula ketika ia bangkit setelah pernikahan sucinya dikhianati oleh suami bejatnya.

Usia yang bisa dibilang dini bagi seorang penulis novel ini yang masih 18 tahun, tak mempengaruhi alur cerita yang telah dibuatnya. Dalam karya perdananya ini, penulis menuguhkan alur yang bagus dan tidak membuat pembaca bosan. Lebihnya lagi, pada setiap bagian ceritanya selallu ada sesutu yang mengagetkan, yang tidak bisa ditebak.

Layaknya tidak ada gading yang tak retak, ada beberapa bagian yang ceritanya terkesan kekanak-kanakan dan bertele-tele. Seperti yang ketika membuat bumbu nasi yang monoton (hal. 13).

Selain itu, Kadang terdapat beberapa cerita yang aneh dan seakan tidak mungkin. Seperti keadaan psikologis Fina yang diceritakan begitu cepat dari trauma masa suramnya ditingal suami bejatnya. Semudah dan secepat itukah Fina terhibur atau sembuh dari sakit hatinya (hal. 149-150). ***

Data Buku
Judul : Kuingin Jadi Sajadahmu
Penulis : Fahri F. Fathoni
Penerbit : Safirah, Yogyakarta
Cetakan : I, 2013
Tebal : 211 halaman
ISBN : 978-602-7723-26-9
*telah dimuat di Harian Bhirawa (31 Mei 2013)

Cinta Meluluhkan Trauma Masa Lalu

Kisah dalam novel ini bisa dibilang unik. Hal itu tergambar dari cerita dan karakter tokohtokoh di dalamnya. Kim Jun Su dan Hong Jeung Eun yang menjadi tokoh utama dalam novel ini memulai keunikan tersebut.

Dengan mengambil latar Korea, novel setebal 286 halaman ini mengisahkan Kim Jun Su, pemimpin redaksi sebuah majalah wanita, yang sering konflik dengan salah satu wartawannya, Hong Jeung Eun. Setiap kali Hong Jeung Eun melakukan kesalahan, meski kadang tidak terlalu fatal, Kim Jung Su selalu ingin memarahi dan melampiaskan segala kegelisahan hati padanya.

Karena terlalu sering dimarahi, akhirnya Hong Jeung Eun mengambil keputusan untuk keluar dari media tersebut dan menerbitkan majalah sendiri. Kim Jun Su gelisah. Dia tidak bisa menerima Hong Jeun Eun keluar. Kim Jun Su kehilangan wartawan. Karena jauh, Kim Jung Su baru sadar bahwa dia jatuh cinta pada bekas wartawannya yang sering dimarahi.

Kim Jun Su syok karena tidak siap jatuh cinta. Di saat para lelaki ingin jatuh cinta, Kim Jun Su justru takut jatuh cinta. Ia benci pada setiap wanita karena pernah ditolak perempuan hanya karena dia miskin. Sejak itu, Kim Jun Su membenci para wanita, termasuk Hong Jeun Eun yang tidak salah apa-apa (halaman 64).

Maka, ketika getaran cinta muncul di hatinya terhadap diri Hong Jeung Eun, Kim Jun Su berusaha semaksimal mungkin menghilangkan bayangbayang Hong Jeung Eun dari pikirannya. Setiap kali terbayang Hong Jeung Eun, ditepis dan abaikan. Namun, semakin ditepis, rasa itu malah bertambah tumbuh subur dan menjadi hantu yang selalu mengikuti gerak-gerik arah pikiran Kim Jun Su.

Bahkan dia cemburu ketika suatu hari melihat Hong Jeung Eun berduaan dengan seorang laki-laki, padahal pria itu hanyalah mitra kerja (halaman 242). Di sisi lain, rasa cinta juga menghinggapi Hong Jeung Eun. Dia sampai-sampai cemburu ketika melihat Kim Jun Su berduaan dengan seorang perempuan di pangkuannya, padahal itu adalah adik kandungnya, Kim Joo Hyun. Adiknya berusaha menyadarkan Kim untuk tidak terlarut pada masa lalu yang suram (halaman 80).

Tidak kuat mengingkari nuraninya, akhirnya Kim Jun Su melupakan masa lalu dan menyatakan cinta pada Hong Jeung Eun. Namun, tekadnya kembali diuji karena ternyata, Hong Jeun Eun adalah anak seorang pengusaha terkenal di Korea, Hong Jeon Su. Ini mengingatkan kembali masa lalu saat Kim ditolak perempuan karena miskin. Namun, dengan dukungan adiknya, Kim akhirnya berhasil menemukan cinta sejatinya pada diri Hong Jeun Eun.

Titik kelemahan dalam novel ini adalah setting dan ceritanya yang datar serta biasa. Ditambah lagi latar Korea kurang tampak di dalamnya, padahal seperti nama tokoh dan percakapan-percakapannya, semestinya murni dengan latar Korea.

Namun, di balik kelemahan itu, ada beberapa hikmah yang bisa diambil. Manusia jangan tenggelam pada masa lalu karena melemahkan semangat hidup. Jangan pernah melawan nurani. Perlawanan pada suara hati akan membuat seseorang tersiksa.

Dunia bisa berubah 180 derajat seperti Kim Jun Su yang awalnya sangat membenci dan selalu memarahi Hong Jeung Eun, akhirnya justru jatuh cinta. Bisa juga orang yang awalnya sangat dicintai, lewat perkembangan zaman, cintanya bisa pudar.

Data Buku
Judul : Shock!
Penulis : Kim Yoora
Penerbit : Laksana, Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2012
Tebal : 286 halaman
ISBN : 978-602-7696-06-8
Harga : Rp35.000
*Resensi ini telah dimuat di Koran Jakarta (17 Oktober 2012)

Pesan Sosial dalam Secangkir Kopi

Saya tidak menyangka bisa tertarik dan larut dalam membaca buku kumpulan cerita dan prosa karya Dee-nama pena dari Dewi Lestari-yang pada tahun 2006 terpilih sebagai karya sastra terbaik pilihan Majalah Tempo ini. Pasalnya, di awal saya membaca buku setebal 139 ini isinya datar-datar saja, seakan tanpa makna. Namun dugaan saya meleset; meski penyuguhan cerita dan prosa-prosanya singkat, ternyata menantang saya-dan saya yakin juga pembaca yang lain-untuk terus berpikir dan akhirnya manggut-manggut karena sepakat dengan filosofi-filosofi yang ditampilkan Dee di baliknya.

Benar apa kata Goenawan Mohammad bahwa sebuah karya yang tidak ruwet, bahkan terang benderang, tak berarti tanpa isi yang menjentik kita untuk berpikir (hal. xii). Jika dalam bahasa dan sastra inggris ada istilah wit yang terjemahan Indonesianya mungkin cerkas, maka karya Dee ini mengungkap kecerkasan dalam sastra Indonesia.

Sedari awal cerita, tepatnya pada judul Filosofi Kopi, yang kemudian menjadi judul buku ini, sudah tampak bagaimana Dee mengungkap kecerkasan karya sastra lewat cerita seorang temannya, Ben, dengan sebuah kedai kopinya di Jakarta yang terus berusaha menyajikan kopi dengan aroma memikat, yang diadopsinya dari beberapa negara luar; Roma, Paris, Amsterdam, Paris, London, New York, dan Moskwa.

Menu andalannya yang dikenal dengan Ben's Perfecto dipercaya tidak ada kopi lain yang menandingi enaknya Ben's Perfecto olahannya. Dengannya Ben lega dan tampak sempurna karena racikan kopinya menjadi andalan banyak orang. Namun, siapa sangka, akhirnya Ben's Perfecto olahan Ben kalah jauh-dan ini yang akhirya membuat Ben menjadi droup karena tidak bisa menerima kenyataan-dengan kopi Tiwus seorang kakek tua di pedesaan yang menyajikannya dengan cara cuma-cuma kepada pengunjung warungnya.

Kisahnya, suatu pagi, ada pengunjung kedai kopi Ben memesan secangkir kopi ingin membuktikan penuturan salah seorang temannya yang mengatakan bahwa kopi racikan Ben sangat enak. Dengan sambutan ramah ala Ben, dia pun menyajikan secangkir Ben's Perfecto untuknya. Di luar dugaan Ben, pengunjung yang mengaku kopi ibarat jamu sehat baginya, menilai Ben's Perfecto yang katanya terenak di dunia di matanya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa.

Mendapatkannya, Ben merasa terpukul dan mengintrogasi pengunjung yang satu itu untuk mengungkap racikan kopi orang lain yang lebih enak dari Ben's Perfecto-nya. Singkat cerita, akhirnya pengunjung tersebut meberitahukan di mana letak sekaligus rute yang dimaksud. Seakan tidak terima karena kopi andalannya tertandingi oleh orang lain, Ben menelusuri kebenaran perkataan pengunjung kedai kopinya pagi itu. Dengan membawa rute yang sudah digenggamnya, Ben menyusuri pedesaan di Jawa Tengah mencari warung kopi yang katanya enak. Setelah muter-muter tidak satupun warung kopi ditemukan yang sesuai seperti penuturan bapak pengunjung waktu itu-hingga akhirya sesuai petunjuk seorang perempuan setelah bertanya, ditemukan warung reyot dari gubuk kecil berdiri di atas bukit kecil, milik Pak Seno. Di warung Pak Seno itulah ditemukan kopi Tiwus yang benar-benar enak. Anehnya, kopi Tiwus Pak Seno itu disajikan secara cuma-cuma alias gratis, tanpa mengharap bayaran dari pengunjung. Di sinilah, Ben benar-benar tidak terima karena penuturan bapak pengunjung kedai kopi Ben waktu itu benar. Sebabagai efeknya, Ben sering menghabiskan hari-harinya dengan kemurungan, seakan meratapi suatu kekalahan.

Isi cerita di atas seakan datar tanpa makna, tapi lebih dari itu cerita di atas menyiratkan akan pentingnya penanaman rasa ikhlas dan rendah hati pada diri kita masing-masing. Dengan landasan iklas dan apa adanya, kopi Tiwus Pak Seno tanpa diharap dan direncakan melebihi kopi-kopi di perkotaan seperti Ben's Perfecto racikan Ben dan sejenisnya yang dielu-elukan tanpa kontrol hati yang maksimal, seperti yang tergambar pada sosok seorang Ben yang bisa dibilang sombong karena racikan Ben's Perfecto-nya. Siratan seperti cerita pertama di atas, juga tampak pada judul-judul selanjutnya dalam buku yang berisi 18 belas cerita dan prosa dengan variasi yang berbeda-beda, di mana semua judul itu sempat menjadi 5 Besar Khatulistiwa Literary Award pada tahun 2006 silam.

Salah satu ciri Dee dalam setiap karyanya-termasuk dalam buku ini-adalah penuturannya yang senantiasa memikat pembaca. Ritme kalimat yang dituliskan Dee menunjukkan kepekaannya pada setiap deret dan baris kalimatnya. Meminjam istilahnya Goenawan Mohammad, ketika kalimat Dee harus berhenti atau terus, ia tidak hanya karena isinya yang selesai atau belum, tapi karena ada momen yang tepat ia menyentuh, mengejutkan, membuat pembaca tersenyum, atau memesona. Tidak cuma itu, Dee juga selalu peduli pada hal yang terkecil sekalipun. Seperti dalam ejaan dan grammar penulisannya. Ketika harus memasukkan kata dan bahasa asing, dengan luwes, tanpa terasa direkayasa, Dee memasukkannya melalui asimilasi atau breack of contract.

Akhir kata, sebagaimana racikan kopi, karya Dee ini tersaji dengan aroma khas, harum, menyegarkan, dan nikmat. Meski ada rasa pahit, tapi di balik kepahitan itulah khas kopi dapat tersaji. ***

Data Buku
Judul : Filosofi Kopi
Penulis : Dee/Dewi Lestari
Penerbit : Bentang, Yogyakarta,
Cetakan I (pertama) Januari 2012
Tebal : 139 halaman
ISBN : 978-602-8811-61-3
Harga : Rp. 47.000,00
*dimut di Harian Bhirawa (1 Juni 2012)

Cinta dalam Ikatan Suci

Bagaimana jadinya jika ada sepasang muda-mudi saling jatuh cinta? Sudah dipastikan bayangan pertama yang terlintas di benak kita, mereka akan sering bermesraan dan menjalin cinta.
Namun tidak dengan kisah cinta dua lawan jenis dalam novel Penjaga Hati ini. Novel ini berkisah akan perjuangan seorang wanita, untuk tetap menjaga kebersihan hatinya, dengan selalu berhati-hati dalam bergaul antar lawan jenis.

Wanita itu adalah Yumna. Ia merupakan gadis remaja berdarah Lampung yang ceria, friendly, dan mudah bergaul. Selain itu ia sangat teguh pendirian dan kuat akan ilmu keagamaannya. Karenanya ia tidak mudah tergoda oleh lawan jenis, meski akhirnya ia jatuh hati pada seorang cowok yang bernama Hasbi.

Dari sinilah kisah itu dimulai. Meski Yumna dan Hasbi saling cinta, tapi mereka tidak saling ungkap. Keduanya sadar akan bahaya bermain api cinta, tanpa restu agama. Oleh karena itu, keduanya—terlebih Yumna—, benar-benar menjaga hati dan hasrat ingin bercintanya.

Mungkin ada sebagian pembaca yang menganggap biasa kisah seperti di atas, tapi jika membaca langsung novel ini pembaca akan menemukan hal beda dari kisah biasanya. Penulis novel ini sangat lihai dalam mengatur alur cerita di dalamnya. Tidak cuma itu, penggambaran masing-masing tokoh, ia gambarkan dengan detail.

Begitu detailnya ia menggambarkan apa yang terjadi dalam sebuah cerita. Bahkan pada hal terkecil sekalipun, yang terkadang kita tidak sadar akan pentingnya penggambaran hal tersebut.
Tidak hanya tentang cinta yang dapat kita rasakan saat membaca novel ini. Secara keseluruhan, novel ini juga menyadarkan kita akan beban dan tanggung jawab dengan adanya “kehidupan baru”. Kehidupan setelah menjadi sarjana.

Lagi-lagi, di sinilah ditemukan kehebatan penulis, di mana secara implisit namun jelas, penulis menyadarkan kita akan tanggung jawab setelah kita menyandang gelar sarjana.

Tergambar jelas bagaimana seorang Hasbi benar-benar bertanggung jawab atas gelar yang ia emban. Semenjak menyandang gelar tersebut, ia mulai berusaha untuk mencari penghasilan sendiri. Ia tak mau hidupnya terus tergantung pada keluarganya.

Termasuk yang menjadi point plus dalam novel ini, kita dapat menyerap banyak hikmah tanpa ada kesan menggurui dari sang penulis. Dengan menggunakan bahasa yang luwes, santai, dan tidak membosankan, Afrika Noer, penulis novel ini, dapat menyadarkan kita akan sebuah hikmah. Biasanya ia menyadarkan kita melalui percakapan antar tokoh dan melalui renungan yang diungkapkan tokoh di dalam hatinya.

Seperti potongan cerita tentang keputusan Ustadz Ferhat untuk memberangkatkan Hasbi ke sebuah pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan yang amat memberatkannya, namun tak kuasa ia menolaknya. Dalam penggal kisah tersebut, Hasbi bergumam dalam hatinya, “Tak sadarkah ustadz, bahwa ia punya andil besar dalam membentuk karakter itu?!”.

Hemat saya, dalam sepenggal percakapan batin di atas terdapat pelajaran yang sangat berharga. Tersirat dalam kalimat tersebut akan dampak negatif yang akan dirasakan anak didik, jika pendidik selalu mendikte terhadap apa yang akan dilakukan oleh anak didiknya. Dalam cerita tersebut jelas, akibat dikte yang selalu diberikan oleh Ustadz Ferhat kepada Hasbi, santri kesayangannya, Hasbi selalu bingung, plin-plan, dan sulit untuk membuat sebuah keputusan.
Selain itu, cerita dalam buku ini cukup unik. Kebanyakan karya novel romantis saat ini mengkisahkan tentang hubungan antar dua pasangan. Bagaimana ia menjalani semuanya dengan berbagai macam perjuangan dalam mempertahankan cintanya.

Tapi tidak dengan novel ini. Novel ini justru mengisahkan bagaimana dua orang yang saling menaruh hati, namun mereka simpan, tak mereka ungkapkan, hanya demi menjaga kesucian hati. Rasa cinta pastilah dirasa, namun mereka nikmati dalam indahnya berdiam dalam cinta. Mereka ingin, cinta mereka tersimpan indah dalam ikatan suci, yakni ikatan pernikahan. Satu model bercinta, yang jarang kita temui di zaman saat ini.

Layaknya karya lain yang terdapat kekurangan dan kelebihan di dalamnya, demikian pula novel ini. Kelemahan dalam novel ini di antaranya kurangnya nuansa romantik yang disajikan. Bukan karena cerita yang terkesan kurang romantis, tapi karena kurangnya bubuhan model karya satra di dalamnya.

Sangat sedikit saya temukan puisi atau kata-kata indah yang mengiringi perjalanan cinta mereka. Kuatnya cinta mereka hanya terungkapkan dengan percakapan yang terjadi dan kalimat yang menggambarkan keadaan hati mereka. Padahal seperti yang saya ketahui, kisah cinta keduanya merupakan kisah cinta yang sunyi.

Akhir kata, kesan terakhir adalah bawa bercinta dalam diam itu ternyata lebih indah terasa. Ini menjadi inspirasi bagi kita untuk selalu menjaga hati dan menjaga kesucian cinta kita, hingga “mitsaqan ghalidla” bergema.

Telah dimuat di majalah dwimingguan, El-Ka Sabili
edisi 14 TH. XIX 12 April 2012

Kisah Kasih Wanita Simpanan Bangsawan

“Cinta itu buta dan tidak mengenal kasta”. Kiranya seperti itulah komentar saya membaca buku The Lady of the Camellias karya Alexandre Dumas Jr. putra Alexandre Dumas Sr., penulis The Count of Monte Cristo dan The Three Musketeers ini. Pasalnya, buku yang terbit pertama kali di Prancis dengan judul La Dame Aux Camellias ini menceritkan kisah cinta matinya seorang lelaki, Armand Duval, pada seorang perempuan bernama Marguerite, yang statusnya sebagai wanita simpanan para bangsawan.

Kisahnya, Marguerite yang mempunyai wajah cantik dengan postur tinggi terkenal sebagai wanita simpanan orang-orang kaya di Paris. Hidupnya serba glamor. Karena gaya hidupnya yang berada pada tingkat tinggi, wanita cantik penyuka bunga kamelia itu akhirnya dililit banyak hutang, hingga akhirnya semua barang-barang miliknya dilelang untuk menutupi hutang-hutangnya.

Namun, siapa sangka keadaan dan kebiasaan Marguerite berubah setelah dia mengenal sosok laki-laki muda, Armand Duval. Lewat pertemuan pertamanya di Opera Comique membuat Marguerite mulai memiliki harapan masa depan. Cintanya kepada Armand Duval mengubahnya menjadi sosok wanita yang mau meninggalkan kekayaan dan gemerlap hidupnya yang glamor.

Sejak pandangan pertamanya Armand Duval langsung tertarik pada Marguerite. Meski ketika itu Marguerite sebagai wanita simpanan dari seorang Duke, Comte De N, cintanya tidak lentur dan dia terus mencari tahu kehidupan Marguerite itu.

Seiring dengan penelusuran Armand Duval, diketahui bahwa Marguerite sering mengalami muntah darah karena panyakit TBC (tuberkulosis) yang dideritanya. Bahkan ketika Armand Duval mendatangi rumahnya, Marguerite sedang sakit dan muntah darah. Saat menemaninya, akhirnya Armand Duval tahu bahwa Marguerite sangat bosan dengan kehidupannya dan ingin menjalin hubungan dengan pria yang lebih muda yang tidak terlalu mengekangnya dan menerima apa adanya.

Keduanya pun saling tertarik. Cinta Armand Duval ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Keduanya saling mencintai. Hubungan pun sering membuat keduanya berbunga-bunga. Tapi sayang jarak mereka harus jauh, hingga akhirnya Marguerite meninggal dunia tanpa ada Armand Duval di sampingnya.

Pasca meninggalnya Marguerite itulah, kisah Armand Duval berada pada titik nadir. Kini hidupnya dipenuhi dengan uraian air mata dan kesenduan yang begitu merana—sampai-sampai harus sakit parah yang hampir merenggut nyawanya. Kenangan indahnya tinggal segunduk pusara dan surat-surat panjang dari Marguerite yang ditulis sebelum ia meninggal. Surat-surat itu yang selanjutnya selalu dibuka dan dibacanya mengenang wanita tercintanya yang telah tiada.

Pusaranya dipindahkan ketempat yang tidak ada batas waktu, karena di pemakaman yang sekarang Marguerite hanya boleh menempati selama 5 tahun. Dengan rasa cinta dan tulus Armand Duval, kini kuburan Marguerite dijadikan sebuah petak yang di atasnya berisi taman bunga kamelia, bunga kesukaan Marguerite.

Dengan memakai alur mundur dalam penceritaannya (plot flashback) membuat alur dalam buku yang pertama kali terbit di Prancis pada tahun 1848 ini tidak gampang ditebak pembaca. Penyajiannya pun mengalir, klop dengan flashback penceritaan yang dipilih penulisnya. Semakin menambah istimewa karena buku ini adalah cerita roman klasik sejalan dengan terjemahaanya yang pas dan mengena. Dengan demikian, tidak mengherankan jika kabarnya buku ini telah diadaptasi dalam berbagai wujud; opera, drama, tarian balet dan film.

Selanjutnya, layaknya tidak ada gading yang tak retak, buku ini terasa kurang dalam penggambaran sosok seorang Armand Duval, sebagai salah seorang tokoh utamanya. Di dalamnya tidak dijelaskan beberapa latar belakang seorang Armand Duval, semisal pekerjaan dan sejenisnya.

Sebagai penutup, pesan moral dalam buku ini adalah bahwa kekuatan cinta itu sangatlah kuat. Cinta dapat mengubah gaya hidup dan kerangka berpikir seseorang. Untuk itu, pintar-pintarlah mengelola rasa cinta, karena kalau tidak, cinta bisa berbahaya. Selamat membaca!

Data Buku
Judul : The Lady of the Camellias
Penulis : Alexandre Dumas Jr.
Penerjemah : Rika Iffati
Penerbit : Penerbit Bentang, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2012
Tebal : vi + 330 halaman
ISBN : 978-602-8811-58-3

*Telah dimuat di harian Radar Surabaya (1 April 2012)

Eksotisme Nusantara

Banyak cara untuk bisa meningkatkan rasa cinta tanah air kita, salah satunya yaitu dengan cara mengenali ragam tempat pariwisata yang tersebar di Nusantara ini. Indonesia yang begitu indah bak mutiara mungkin belum disadari oleh kebanyakan orang, terutama masyarakatnya sendiri. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya buku "Aku Cinta Indonesia: Jelajah Eksotisme Negeri", terbitan B-first.

Buku ini berisi kisah-kisah petualangan anak negeri mengelilingi Nusantara. Mereka adalah 66 anak yang terjaring dalam program Aku Cinta Indonesia (ACI) yang diadakan oleh detikcom pertengahan tahun 2010 silam. ACI adalah sebuah program yang dipersembahkan secara khusus oleh detikcom bagi masyarakat untuk berkesempatan keliling Indonesia secara gratis. Sebanyak 33 tim dari 66 anggota jelajah ACI diajak untuk menikmati keindahan alam dan keanekaragaman budaya di Indonesia ini. Mereka disebar di 33 provinsi.

Dengan membaca buku ini kita akan mengetahui keindahan dan pesona alam di Indonesia, tanpa harus mengunjungi satu persatu. Gaya bahasa yang ringan membuat buku ini layak dikonsumsi semua kalangan. Baik anak-anak maupun orang tua, lebih-lebih mereka yang suka traveling.

Di Papua misalnya, yang memiliki banyak pulau. Ada Pulau Biak, Pulau Supiori, Pulau Yapen dan Nabire. Semua pulau tersebut terletak di Teluk Cendrawasih, teluk terluas di Indonesia. Eksotismenya mengundang penjelajahan yang tidak singkat. Dua minggu, dua bulan, bahkan dua tahun belum tentu cukup menjelahi pulau terbesar di dunia ini.

Dengan luas 1.433.658 meter persegi, Taman Laut Teluk Cendrawasih merupakan taman nasional terluas di Indonesia. Dari saking luasnya, taman laut yang menjadi bagian wilayah dari delapan kabupaten di dua provinsi ini dibagi menjadi beberapa taman laut; Taman Laut Kepulauan Padaido, Taman Laut Kepulauan Ambai, Taman Laut Kepulauan Harleem, dan Taman Laut Teluk Cendrawasih sebagai daerah inti.

Selanjutnya, di Sulawesi kita akan berdecak kagum ketika melihat keindahan Air Tenjun Moramo. Meski air terjun Moramo ini tidak termasuk pada daftar must visit, tapi keindahan dan eksotismenya sungguh luar biasa. Air Terjun ini terdiri dari sekitar sepuluh tingkat air terjun. Debit airnya besar, sehingga air terjunnya terlihat cantik sekali. Airnya hijau dan jernih.

Tidak cukup dengan air terjun, di Sulawesi Selatan, tepatnya di Pulau Selayar, decak kagum kita akan bertambah dengan pesona dunia bawah laut. Dengan hanya bermodal menyelam kita akan melihat objek-objek yang unik dan menarik. Berbagai jenis ikan akan ditemukan di sana, seperti pufferfish, scorpionfish, lionfish, blue spotted ray, cuttlefish, nudibrach, crayfish, dan yellow boxfish.

Tidak hanya eksotisme Papua dan Sulawesi, kita juga diajak untuk menikamti eksotisme pariwisata di Kalimantan, Sumatera, NTT-NTB, hingga Jawa-Bali. Di Kalimantan misalnya ada Pantai Tanjung Ketapang, Singkawang, Pulau Kakaban, Pulau Manti, Taman Rindu Alam, dan lain sebagainya. Di Sumatera ada Pulau Bereuh, Pulau Palambak, Pulau Lengkuas, Danau Kembar, Danau Gunung Tujuh, Teluk Kiluan dan lain sebagainya. Di NTT-NTB ada Gunung Tambora, Pulau Kepa, Pulau Ular, Pantai Waiara, dan lain sebagainya. Di Jawa-Bali ada Pulau Panggang, Pulau Peucang, Pantai Selatan Yogyakarta, Pantai Bandengan, Segara Anakan, Teluk Dami, Teluk Hijau dan lainnya.

Membaca buku ini, kita juga akan mengetahui istilah-istilah pelayaran dan kewisataan, seperti snorkeling, soft coral, responsible traveling, rafting, dan lain sebagainya. Di dalamnya banyak istilah-istilah pelayaran dan kewisataan yang mungkin tidak familiar bagi kita yang jarang melakukannya. Menariknya lagi, dalam buku ini dilengkapi dengan gambar tempat-tempat pariwisata dan satwa langka, yang tersebat di negeri ini.

Beragam kisah dan foto dalam buku ini berhasil membuat suatu sensasi tersendiri bagi kita, seakan kita ingin berada di daerah yang dijelajahi oleh para Petualang ACI. Kita seolah-olah diajak untuk merasakan langsung indahnya fenomena alam di Tanjung Api, serunya menyelam di Pulau Hatta dengan beberapa gua bawah lautya, hingga melihat indahnya sinar jingga kekuningan matahari sore di Papua.

Akhir kata, buku ini bisa menjadi panduan bagi kita semua yang ingin mengenali lebih dekat tempat-tempat pariwisata yang sangat indah sekaligus eksotis di negeri ini. Lebih dari itu, buku ini akan membuat mata kita terbuka lebar, betapa negeri ini memiliki banyak tempat pariwisata yang indah dan mempesona, yang tidak dimiliki negara-negara lain. ***

Data Buku
Judul : Aku Cinta Indonesia: Jelajah Eksotisme Negeri
Penulis : Tim detikcom
Penyunting : Nimas Enda Astuti dan Ikhdah Henny
Penerbit : B-first, Yogyakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal : x + 246 halaman
ISBN : 978-602-8864-30-5

Resensi ini telah dimuat di Harian Bhirawa (22 Januari 2012)

Ma Yan dan Kekuatan Mimpinya

Orangtua adalah orang yang sangat berjasa dalam hidup kita. Tanpanya, kita tidak akan lahir ke dunia ini. Kasih sayangnya tanpa pamrih. Dengan ikhlasnya semua hal dilakukan demi seorang anak. Pengorbanannya pun tak tertandingi. Tanpa kenal lelah, badai angin dan bara api dilibasnya. Semuanya demi kita.

Lihat saja, sewaktu di dalam perut ibu, sembilan bulan kita menghisap darahnya. Saat itu, ibu sulit berdiri, berat ketika berjalan, dan bahkan berbaring pun sakit. Tiga bulan pertama terasa mual dan muntah karena ada kita di perutnya. Ketika kita akan terlahir ke dunia, ibu meregang nyawa antara hidup dan mati. Meskipun bersimbah darah dan sakit tiada terperi, tapi ibu tetap rela dengan kehadiran kita. Setelah lahir, satu persatu jari kita dihitungnya dan dibelainya.

Di tengah rasa sakit, beliau tiba-tiba tersenyum dengan tetesan air mata bahagia melihat kita terlahir. Dan saat itu pula, ibu berharap dan berkeyakinan akan lahir anak yang saleh-shalehah yang memuliakannya.

Betapa mulianya beliau. Untuk itu, kita harus menghormati dan patuh terhadap orangtua. Kita harus dengan patuh ketika diperintah orangtua. Kita harus dengan ikhlas ketika membantu orangtua. Dan kita harus dengan santun ketika berbicara dengan orangtua.

Dari saking mulianya orangtua, Islam sampai melarang untuk memaki ibu-bapak (orangtua) orang lain, sebab setiap kali kita memakimaki orangtua orang lain, maka bisa jadi akan mengundang orang itu untuk memaki orangtua kita. Dan itu adalah kedzaliman bagi orangtua.

Hal itu, disadari oleh Ma Yan, gadis kecil China, yang hidup di pedalaman China. Ma Yan yang dalam kesehariannya hidup serba kekurangan tidak menuntut lebih dari kedua orangtuanya.

Meski orangtuanya hanya bisa membayar uang sekolah dan menyerahkan beras sebanyak 25 kilogram kepada pihak sekolah setiap semesternya; tak ada uang jajan dan uang lebih untuk membeli alat tulis, Ma Yan tidak pernah mengeluh. Ia tetap menjalani dengan santai, meski tidak jarang harus menahan haus dan lapar, karena kekurangan dan kehabisan bekal.

Pernah, suatu ketika, Ma Yan harus menahan lapar terus menerus selama 15 hari, demi sebuah pena. Selama itu, ia hanya makan nasi putih, tanpa lauk. Semua itu ia palingkan ke orangtuanya. Orangtuanya tidak boleh tahu, karena Ma Yan tidak mau menambah beban orangtua yang dalam kesehariannya sudah banting tulang, demi sekolahnya dan adik laki-lakinya.

Kisahnya, suatu hari ketika Ma Yan menemani temannya ke pasar, ia melihat sebuah pena yang sangat indah (hal. 59-84). Harganya 2 yuan. Ia pun tertarik untuk memilikinya, tapi sayang Ma Yan tidak mempunyai uang.

Keinginan Ma Yan tidak cukup sampai di situ. Ia berkeyakinan bisa memiliki pena itu. Akhirnya, demi pena itu, ia menyimpan bekal 1 yuan, jatahnya selama satu minggu. Akibatnya, ia tidak bisa membeli sayur untuk lauk makannya dan terpaksa bertahan dengan hanya memakan semangkok nasi putih yang hambar setiap harinya.

Untuk membuat selera makan menjadi sedikit bersahabat, meski tanpa lauk, Ma Yan bermain dengan lamunan. Ia membayangkan ibunya sedang merebuskan daging untuknya. Menyiapkan kaldu, yang harum kuahnya sampai meresap hidung. Teori lamunan ini, Ma Yan lakukan selama satu minggu.

Minggu berikutnya, ternyata sang ayah tidak memiliki uang sehingga ia tidak mendapatkan 1 yuan lagi untuk melengkapi simpanannya dan membeli pena itu. Terpaksa ia “berpuasa lagi”, seperti satu minggu sebelumnya, dengan tetap mempertahankan teori lamunannya. Namun apalah daya, ternyata teori lamunan itu tidak ampuh di minggu kedua.

Bayangkan! Namun, Ma Yan tetap menjalaninya dengan penuh keikhlasan tanpa mengeluh, meski pada minggu kedua ini “pengorbananya” lebih menyiksa. Ia menggambarkan masa penantiannya itu dengan kalimat; “Sekeping yuan itu bagai seorang pengantin yang menunggu pasangannya”.

Seminggu kemudian, barulah ia memperoleh 1 yuannya yang lain dan berhasil membeli pena, yang kemudian menjadi barang paling berharga baginya. Dengan pena itu Ma Yan menaruh harapan. Harapan yang dapat mendukung proses pembelajarannya.

Kisah ini terangkum dalam buku “Ma Yan: Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Pedalaman China untuk Meraih Pendidikan”. Kisah yang diangkat dari kisah nyata ini sarat dengan semangat dan inspirasi, sehingga cocok sekali untuk dibaca bagi para pejuang mimpi. Kisah yang penuh teladan.

Ada beberapa teladan yang dapat diambil pelajaran dalam buku ini. Pertama, bakti kepada orangtua. Kedua, perjuangan dalam menggapai pendidikan. Ketiga, kerja keras dalam mencari nafkah. Dan keempat, pasrah pada takdir dengan usaha yang cukup (tawakkal).

Selanjutnya, layaknya tidak ada sebuah karya yang sempurna, dalam buku ini tidak ditulis dengan satu sudut pandang. Buku ini ditulis dengan dengan sudut pandang Ma Yan dan ibunya, secara bergantian. Selain itu, buku ini ceritanya terasa kurang tuntas dalam penyelesaian cerintanya, sehingga endingnya terasa mengembang.

Data Buku
JUDUL BUKU : Ma Yan: Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Pedalaman China untuk Meraih Pendidikan
PENULIS : Sanie B. Kuncoro
PENERBIT : Bentang Pustaka, Yogyakarta
CETAKAN : Pertama, 2011
TEBAL : viii + 228 halaman
ISBN : 978-602-8811-42-2

Dimuat di Radar Surabaya (11/12/2011)

Mengenal Pak Djoko Pitono


Syeikh…, Ustadz…, Kiyai…, Habib…, delete, control Z. Syeikh…, Ustadz…, Kiyai…, delete, control Z. Berulang kali tanganku memencet keyboard komputer menuliskan kata di atas ketika ku pertama kali menuliskan sesuatu tentangnya. Dalam gelap ketidak tahuanku, ku hanya bisa menebak dan menebak. Manakah kata depan yang memang pantas disandang olehnya. Aku bingung. Sesekali dia mengaku seorang ustadz. Di saat yang lain dia juga bercerita kalau dia termasuk keturunan habaib.
Hadlramaut, sebuah kota yang selalu disebut sebagai tempat nenek moyangnya berasal. Entahlah! Namun, yang penting bagiku sebisa mungkin untuk menyesuaikan diri ketika berkomunikasi dengannya. Syeikh, ustadz, habaib, wuah..., tidak mudah bagiku. Namun anehnya, jika memang seorang habaib, untuk “habaib yang ini beda dengan habaib yang lain. Keren abis..!
Sore itu, seperti biasa setelah ku melaksanakan sholat Ashar berjamaah dengan orang tuaku, ku menyempatkan diri untuk menonton televisi sebelum rutinitas soreku dilaksanakan. Menyapu rumah, mengajak adik kecilku mandi, dan sejenisnya, merupakan agenda rutin yang selalu menghiasi sore indahku. Dan sore itu terasa sangat berbeda denganku. Tepat, 5 menit setelah ku menikmati salah satu stasiun televisi, HP-ku berdering. +628563068480, No baru kembali muncul. Langsung saja kuangkat HP yang memang kebetulan ada di sampingku. Suara di samping begitu sangat akrab, namun tetap bersahaja. Suara yang entah terasa sangat akrab denganku itu mengabarkan berita yang sangat menggembirakan bagiku. Untuk kedua kalinya tulisanku dimuat di salah satu koran harian Surabaya. Sangat membahagiakan bagiku, karena hanya berjarak beberapa hari, tulisanku dimuat kembali. Terima kasih Tuhan. Terima kasih untuk semuanya. Ya, Pak Djoko Pitono namanya. Ups salah! Habib Djoko Pitono. Namun sebenarnya ada hal yang lebih menyita banyak perhatianku. Lagu Tak Lagi Bisa” yang dinyanyikan The Sister yang kujadikan nada dering HP-ku, selalu berbunyi. Berbunyi lebih sering dari biasanya. Satu nama yang sering muncul akhir-akhir ini.
Habib Djoko Pitono. Kepadaku dia menceritakan banyak hal. Baik menceritakan tentang siapa beliau, identitas beliau, hingga pengalaman-pengalaman beliau di bidang jurnalistik. How a Wonderfull! Sungguh tak terasa! Mendengarkan 25 menit cerita beliau seperti hanya sesaat. 25 menit x 25 menitpun ku takkan merasa bosan. Bagaiamana tidak, mendengar 25 menit cerita beliau, ingin rasanya ku menulis selama 25 abad. Gairah menulis yang lama menghilang dari jiwaku, kini kembali muncul. Terlebih kupenasaran akan satu hal, “umurku lebih tua tujuh tahun dibanding umur ayahmu”, ujarnya ketika ku menjawab pertanyaannya tentang usia ayahku yang sudah menginjak 51 tahun. Mendengarnya ku tak percaya. Suara yang selalu ku dengar mengatakan kalau usianya masih menginjak kepala tiga. Entahlah, kepala lima atau tiga. Yang jelas, tak pernah dia menyinggungku untuk menambah kata awal embah di depan namanya.
Tertarik dengan pengalamannya yang sungguh mencengangkan di dunia jurnalistik, membuatku ingin beajar menulis langsung dengannya. Langsung saja kuungkapkan keinginanku ketika dia akan mengakhiri pembicaraannya lewat telepon suatu ketika. Dan, gayungpun bersambut. Dengan suara yang jelas, dia mengiyakan keinginanku. Bahkan ia tak keberatan jika kubertemu langsung di kantor tempat sehari-harinya beliau beraktifitas. Kantor megah yang tepat berada di depan kampusku, IAIN Sunan Ampel Surabaya, tepatnya di Graha Pena.
Wuah, kebetulan tiga hari lagi memang aku berencana ke kampusku. Pastinya, kesempatan itu tak akan ku sia-siakan. Pastinya ku akan meluangkan waktu untuk bertemu dengannya. Ku ingin belajar langsung dengan orang hebat sepertinya. SSsss...ttt, walaupun sebenarnya rasa penasaranku padanya yang membuatku ingin bertemu. He-he-he.
Jika ada salah satu penyanyi yang mengatakan sehari rasanya sewindu, mungkin itulah yang kurasakan saat ini. Tiga hari rasanya tiga windu. Ya, tepat hari Kamis, tiga hari lagi ku akan bertemu dengannya. Kulit sawo matang, tinggi kurang lebih seperti ayahku, rambut yang selalu mengkilat rapi, dan penampilan yang dinas elegan dengan memakai celana kain safari dan hem kemeja panjang disertai dasi yang serasi, adalah ciri-ciri tentangnya yang dilukis oleh pikiranku. Lukisan yang tak tiba-tiba muncul sebelum melihat obyek yang dilukis. Begitu terang dan tebal pikranku dalam melukisnya. Ku benar-benar yakin!
Assalamu ‘alaikum, Bapak, dengan via telepon, begitulah sapaku pertama kali padanya sesampai di Surabaya, kampus IAIN tercinta. Satu lagi dari beliau! Ketika ku menghubunginya via sms, beliau tidak pernah menanggapinya dengan mengetik balasan pesan, walau sekali. Biasanya beliau langsung menanggapinya via telepon. Mungkin, ia sudah tidak punya banyak waktu untuk sekedar menulis sms. Pikirku, mungkin baginya menulis beberapa kalimat di atas komputer meja kerjanya lebih baik daripada harus menulis pesan di HP-nya. Uniknya lagi, selama ku menghubungi beliau via sms, bisa dipastikan tertulis pending pada laporan terkirim di sms-ku yang pertama. Terpaksa, ku harus mengirimnya beberapa kali. Bukan terpaksa karena pulsa, namun rasa sungkan yang menggelayuti. Kenapa harus beberapa kali. Ya, semoga ia mengerti. He-he-he.
Pembicaraanku dengannya yang hanya beberapa menit itu, melahirkan kesepakatan bahwa saya boleh berkunjung ke kantornya jam satu siang nanti. Alhamdulillah, orang sesibuk beliau mau meluangkan waktunya untuk bertemu denganku. Bagiku ini suatu penghargaan yang luar biasa. Wuahh.., semakin penasaran rasanya. Semakin dekat, waktu pun semakin lambat berputar. Aku akan bertemu dengan sang habaib jurnalis! Akhirnya.
Ku telusuri jalan yang penuh polusi dengan salah satu temanku menuju Graha Pena. Lincahnya temanku dalam mengemudikan motornya membuat perjalanan kami lebih lancar daripada kendaraan lain yang harus antri berebut menjadi yang terdepan dengan kendaraan-kendaraan lainnya. Lantai empat, kantor Radar Surabaya, menjadi tujuan utamaku dalam bangunan megah Graha Pena itu. Dengan lift, dalam hitungan detik saja ku sudah sampai di lantai empat. Sekedar bercerita, sangat sulit bagiku untuk mengoperasikan lift. Sekali lagi, untungnya ku bersama temanku yang sudah terbiasa menggunakan jasa lift. Ku bingung, mana yang harus dipencet, mana lift yang naik, mana lift yang turun. Hadoh, benar-benar gadis desa. Akhirnya, dengan langkah yang sok pasti, ku langkahkan kaki tuk menuju kantor redaksi Radar Surabaya yang jaraknya hanya beberapa langkah dari pintu lift yang kami naiki.
Seperti biasa, dua mbak cantik yang duduk standby di kursi resepsionis menyambut kami dengan ramah. Selamat siang! ada yang bisa kami bantu?. Langsung saja ku utarakan tujuanku menyerang polusi di siang bolong ini. Kembali mbak cantik itu melontarkan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang membuatku heran tuk kesekian kalinya. Dia bertanya, Apa sudah janjian dengan beliau?. Wuih, keren banget! Pakek janjian segala, batinku. Dengan tegas disertai senyum ku menjawab, Sudah mbak. Bilang ja Rifqatul Husna dari Probolinggo. Dengan langkah sigap namun tetap feminin, mbak cantik itu langsung berjalan ke salah satu sudut ruangan di sana untuk menemui Habib Djoko Pitono. Sesaat kemudian, mbak itu kembali datang dan mengatakan, Duduk dulu ya dek, tunggu sebentar. Ku balas hanya dengan anggukan dan senyumku. Oey, ku benar-benar bakal ketemu!.
Tak lama kemudian, di tengah dag-dig-dug ku menyambut pertemuan pertama, tiba-tiba dari ruangan belakang resepsionis keluar seorang laki-laki dengan membawa buku di tangan kanannya. Tinggi badan yang menurutku bisa dibilang sedang (seperti orang-orang kebanyakan) dan lebar badan yang proposional pula. Dia keluar ruangan dengan mimik yang sedikit menampakkan bingung. Dia lirik dan toleh kanan-kiri seakan-akan ada yang dituju. Diakah? Ku bilang tidak. Karena sama sekali dia tak seperti lukisan yang telah diyakini oleh jiwaku. Kaos pendek yang terkesan santai dengan dilapisi jaket hitam agak tebal, membaluti penampilannya. Tapi, jika ku ingat lain sisi dari sosok beliau, bisa jadi dia berpenampilan seperti itu. Mengapa tidak. Sekilas dari cerita-ceritanya yang kudengar lewat telepon, menurut penilaianku dia termasuk orang yang fleksibel. Dapat bergaul dengan siapa saja. President, Perdana Menteri, para pejabat tinggi, Gubernur, Pak Camat, Kiyai, penjual, bahkan tukang becak sekalipun. Dan bagiamana dengan mahasiswi sepertiku? Ya pastinya juga dapat bergaul asyik dengan kami mahasiswi. Beliau pernah menjadi dosen sastra Inggris di Universitas ternama.
Ya, pikiranku mulai kembali melukis bayangan tentangnya. Lukisan yang tentunya sangat berbeda dengan hasil lukisan yang pertama. Ya! Ku semakin yakin, dialah orang yang akan kutemui. Dia mulai mendekat dan tersenyum ke arah kami. Memberikan sapaan hangat lewat tatapan matanya yang akrab dan bersahaja. Pak Djoko Pitono?, tanyaku. Hanya dengan anggukan kecil dia menjawab pertanyaanku. Owh, dia, dia, dia.
Kesan pertama, beliau sangat sederhana dan bersahaja. 1001 kutemui orang-orag seperti beliau di Indonesia. Beliau merupakan Direktur Utama di Radar Surabaya. Beliau juga aktif mengisi diklat-diklat jurnalistik di banyak daerah di Indonesia. Tidak hanya itu, beliau juga sering diundang keluar negeri oleh berbagai media harian cetak. Benar-benar hebat. 1001 dari sosok beliau tak hanya di sana, atau sebenarnya tidak pada di sana. Justru 1001 beliau di sana adalalah, sifat kesederhanaan yang selalu setia menemani beliau. Bisa-bisanya orang sehebat beliau, tokoh Indonesia sekaliber beliau, masih menggunakan motor sederhana sebagai saksi bisu dalam menjalani rutinitas kesehariaannya. Sungguh sangat kontras. Sangat kontras dengan keahlian yang beliau miliki. Super! Super juga untuk negara kita Indonesia. Negara yang masih rela melihat kesederhanaan yang selalu melekat pada anak bangsanya. Anak bangsa yang sudah jelas mengharumkan negara dengan prestasi emasnya. Sebaliknya, negara yang selalu tidak tega membiarkan kesederhanaan menyelimuti, bahkan walau hanya sekedar menghampiri para pejabat negara dan kawan-kawannya. Kasihan. Namun ku tak tahu jelas siapa yang seharusnya ku kasihani.
Kesan kedua, semangat dan gigih. Kesan kedua ini kudapatkan jelas ketika ku diajak masuk menuju kantornya. Sebuah ruangan lebar yang kurang lebih berukuran sederhana itu, dipenuhi oleh puluhan komputer yang berbaris rapi. Sepertinya, satu komputer untuk satu karyawan. Satu meja dengan dua rak yang bisa dibilang lebar juga menjadi fasilitas untuk para karyawan. Jejeran kursi putar yang ada menambah kesan yang lebih elit dalam ruangan yang sungguh terang karena cahaya lampu besar yang tertempel rapi di dinding ruangan itu. Tak bosannya mataku menyapu seluruh ruangan yang ada. “Kesempatan”, pikirku. Beberapa saat kemudian, di tengah asyiknya ku menikmati kerapian benda yang ada, tiba-tiba mataku tertuju pada satu titik. Satu meja yang sungguh berbeda. Sekilas, sekali lagi sekilas, bisa dibilang meja tersebut meja yang merusak tatanan kerapian ruangan yang ada. Bagaimana tidak? Beratus tumpukan buku, tumpukan puluhan koran, turut bertengger di meja pojok dekat jendela di sebelah selatan itu. Mungkin, jika ingin tidak merusak kerapian yang ada, dibutuhkan 5 meja untuk menampung barang-barang yang tak terhitung jumlahnya itu. Namun bagiku, itu merupakan sebuah keistemewaan. Menurutku, memang seperti itulah seharusnya seseorang yang aktif di bidang jurnalistik. Seseorang yang memang dapat diandalkan kesubstansialnya. Tidak hanya cover indah yang ditonjolkan dengan harapan agar terkesan hebat. Ternyata tanpa kusadari, ku megikuti langkah Pak Djoko Pitono mendekati meja unik tadi. Ya, ternyata meja itu milik Pak Djoko Pitono. Menurutku, tumpukan buku dan koran yang ada sangat cukup menjadi bukti akan kesungguhan beliau di bidang kejurnalistikannya. Selain itu, arsip tulisan-tulisan beliau sejak tahun 80-an dan arsip undangan-undangan dari luar negeri turut berbisik jelas padaku bahwa beliau memang mempunyai semangat yang gigih serta kemauan yang keras dalam mewujudkan keinginannya. Memang itulah sebenarnya yang benar, keahlian yang mengantarkan pada keprofesionalan seseorang. Bukan kekayaan atau kedudukan yang dimiliki kawan sekitar. Oya! Satu lagi! Ku juga melihat, dua kertas wesel. Tertulis, Rp. 7.500 tahun 1980 dan Rp. 35.000 pada tahun 1985. Mungkin honor dari nulis ya!
Kesan ketiga, bergaul dengan semua kalangan. Sekian jabatan yang menyilaukan mata mayoritas masyarakat, banyak menghampirinya. Pegawai negeri, jabatan tinggi di salah satu ormas di Indonesia, Profesor, dan banyak lainnya. Namun, tak satupun beliau terima. Alasannya simpel dan mulia. Beliau tidak mau terikat dengan satu institusi atau peraturan tertentu. Alasan yang diutarakannya, dengan memiliki jabatan-jabatan tersebut beliau tidak akan mudah bergaul dengan banyak orang. Parahnya lagi, berdasarkan keadaan yang sering kulihat, biasanya dengan jabatan yang tinggi, sulit untuk menunduk sekedar melihat lapisan masyarakat bawah. Ya walaupun memang tidak semuanya. Berjalan tanpa atribut sana-sini memang lebih mudah melihat apa yang terjadi dan apa yang sebenarnya dirasakan. Benar-benar wartawan yang dpat diandalkan. Sungguh indah.
Kumandang adzan Ashar remang-remang masuk dalam ruangan yang menjadi saksi bisu dalam pertemuan pertamaku dengan Pak Djoko Pitono. Syahdunya adzan mengingatkanku agar ku segera meninggalkan tempat yang ku rindu itu. Tepat setelah Ashar, ku dan salah satu temanku yang lain akan bernostalgia ke pondokku, Tambak Beras Jombang. Mau tidak mau, dengan berat hati ku mohon pamit untuk mengakhiri pertemuan.
Dialog dua jam yang mengalir hangat harus diakhri. Beliau mengajari banyak hal dalam dialog ketika itu. Memberikan semangat ekstra pada kami untuk terus menulis, menulis, dan menulis. Temanku yang sebelumnya sama sekali tidak mengenalnya, mendadak turut haru dan kagum pada kepribadian beliau. Dengan segera dia mengusap kemilau cair bak kristal yang keluar dari matanya. Di akhir pertemuan kami, beliau memberiku buku TKW Menulis dan juga memberi temanku ibuku dengan judul Orang Miskin Boleh Sehat. Jelas! Pemberian tersebut menjadi motivasi tetrsendiri bagi kami. Kemudian, kami beranjak dari tempat duduk dan meja bundar di tengah ruangan yang menjadi tempat tumbuhnya semangat kami saat ini.
Sebenarnya, tulisan ini lahir karena perintah dari beliau. Perintah yang memang sengaja kuminta. Suatu kebanggan bagiku menulis sesuatu atas permintaan beliau. Coba kamu tulis agenda harian kamu hari ini. Perintahnya di akhir pertemuan pertama itu. Tulis apa saja yang ada dipikranmu. Misalnya, ku bertemu dengan Pak Djoko Pitono. Dia orang yang sudah tua alias lanjut usia. Dia keturunan habib. Berasal dari Hadlromaut. Dia orangnya pamer, riya’, dan yang lainnya", lanjutnya. Ha-ha-ha. Seketika itu juga kami tertawa menyusuli ucapannya.
Dengan tatapan mata yang lebih semangat dalam menatap kehidupan, kami berjalan meninggalkan gedung Graha Pena. Senyum manispun, tak henti-hentinya menghiasi wajah kami. Jiwa kami boleh meninggalkan Graha Pena, namun raga kami masih terngiang-ngiang nasehat-nasehat beliau yang memberikan suntikan ampuh pada kami. Bersamaan kami mengulang kata-kata emas beliau, Ada 4 hal yang tak mungkin lepas dari kehidupan kita. Mendengar, melihat, membaca, dan menulis. Publish or (rusak)!”.
Ya begitulah sekelumit tentang beliau. Sebenarnya masih banyak hal lain yang belum saya sampaikan tentang beliau. Tapi kurasa, tak mungkin ku uraikan semua. Cukup kuungkap kesan pertama, kedua dan ketiga yang sungguh mengoda. Selanjutnya, terserah Anda! He-he-he.
Diberdayakan oleh Blogger.

Made with by Odd Themes

© 2013 Odd Themes, Inc. All rights reserved.