Mengenal Pak Djoko Pitono


Syeikh…, Ustadz…, Kiyai…, Habib…, delete, control Z. Syeikh…, Ustadz…, Kiyai…, delete, control Z. Berulang kali tanganku memencet keyboard komputer menuliskan kata di atas ketika ku pertama kali menuliskan sesuatu tentangnya. Dalam gelap ketidak tahuanku, ku hanya bisa menebak dan menebak. Manakah kata depan yang memang pantas disandang olehnya. Aku bingung. Sesekali dia mengaku seorang ustadz. Di saat yang lain dia juga bercerita kalau dia termasuk keturunan habaib.
Hadlramaut, sebuah kota yang selalu disebut sebagai tempat nenek moyangnya berasal. Entahlah! Namun, yang penting bagiku sebisa mungkin untuk menyesuaikan diri ketika berkomunikasi dengannya. Syeikh, ustadz, habaib, wuah..., tidak mudah bagiku. Namun anehnya, jika memang seorang habaib, untuk “habaib yang ini beda dengan habaib yang lain. Keren abis..!
Sore itu, seperti biasa setelah ku melaksanakan sholat Ashar berjamaah dengan orang tuaku, ku menyempatkan diri untuk menonton televisi sebelum rutinitas soreku dilaksanakan. Menyapu rumah, mengajak adik kecilku mandi, dan sejenisnya, merupakan agenda rutin yang selalu menghiasi sore indahku. Dan sore itu terasa sangat berbeda denganku. Tepat, 5 menit setelah ku menikmati salah satu stasiun televisi, HP-ku berdering. +628563068480, No baru kembali muncul. Langsung saja kuangkat HP yang memang kebetulan ada di sampingku. Suara di samping begitu sangat akrab, namun tetap bersahaja. Suara yang entah terasa sangat akrab denganku itu mengabarkan berita yang sangat menggembirakan bagiku. Untuk kedua kalinya tulisanku dimuat di salah satu koran harian Surabaya. Sangat membahagiakan bagiku, karena hanya berjarak beberapa hari, tulisanku dimuat kembali. Terima kasih Tuhan. Terima kasih untuk semuanya. Ya, Pak Djoko Pitono namanya. Ups salah! Habib Djoko Pitono. Namun sebenarnya ada hal yang lebih menyita banyak perhatianku. Lagu Tak Lagi Bisa” yang dinyanyikan The Sister yang kujadikan nada dering HP-ku, selalu berbunyi. Berbunyi lebih sering dari biasanya. Satu nama yang sering muncul akhir-akhir ini.
Habib Djoko Pitono. Kepadaku dia menceritakan banyak hal. Baik menceritakan tentang siapa beliau, identitas beliau, hingga pengalaman-pengalaman beliau di bidang jurnalistik. How a Wonderfull! Sungguh tak terasa! Mendengarkan 25 menit cerita beliau seperti hanya sesaat. 25 menit x 25 menitpun ku takkan merasa bosan. Bagaiamana tidak, mendengar 25 menit cerita beliau, ingin rasanya ku menulis selama 25 abad. Gairah menulis yang lama menghilang dari jiwaku, kini kembali muncul. Terlebih kupenasaran akan satu hal, “umurku lebih tua tujuh tahun dibanding umur ayahmu”, ujarnya ketika ku menjawab pertanyaannya tentang usia ayahku yang sudah menginjak 51 tahun. Mendengarnya ku tak percaya. Suara yang selalu ku dengar mengatakan kalau usianya masih menginjak kepala tiga. Entahlah, kepala lima atau tiga. Yang jelas, tak pernah dia menyinggungku untuk menambah kata awal embah di depan namanya.
Tertarik dengan pengalamannya yang sungguh mencengangkan di dunia jurnalistik, membuatku ingin beajar menulis langsung dengannya. Langsung saja kuungkapkan keinginanku ketika dia akan mengakhiri pembicaraannya lewat telepon suatu ketika. Dan, gayungpun bersambut. Dengan suara yang jelas, dia mengiyakan keinginanku. Bahkan ia tak keberatan jika kubertemu langsung di kantor tempat sehari-harinya beliau beraktifitas. Kantor megah yang tepat berada di depan kampusku, IAIN Sunan Ampel Surabaya, tepatnya di Graha Pena.
Wuah, kebetulan tiga hari lagi memang aku berencana ke kampusku. Pastinya, kesempatan itu tak akan ku sia-siakan. Pastinya ku akan meluangkan waktu untuk bertemu dengannya. Ku ingin belajar langsung dengan orang hebat sepertinya. SSsss...ttt, walaupun sebenarnya rasa penasaranku padanya yang membuatku ingin bertemu. He-he-he.
Jika ada salah satu penyanyi yang mengatakan sehari rasanya sewindu, mungkin itulah yang kurasakan saat ini. Tiga hari rasanya tiga windu. Ya, tepat hari Kamis, tiga hari lagi ku akan bertemu dengannya. Kulit sawo matang, tinggi kurang lebih seperti ayahku, rambut yang selalu mengkilat rapi, dan penampilan yang dinas elegan dengan memakai celana kain safari dan hem kemeja panjang disertai dasi yang serasi, adalah ciri-ciri tentangnya yang dilukis oleh pikiranku. Lukisan yang tak tiba-tiba muncul sebelum melihat obyek yang dilukis. Begitu terang dan tebal pikranku dalam melukisnya. Ku benar-benar yakin!
Assalamu ‘alaikum, Bapak, dengan via telepon, begitulah sapaku pertama kali padanya sesampai di Surabaya, kampus IAIN tercinta. Satu lagi dari beliau! Ketika ku menghubunginya via sms, beliau tidak pernah menanggapinya dengan mengetik balasan pesan, walau sekali. Biasanya beliau langsung menanggapinya via telepon. Mungkin, ia sudah tidak punya banyak waktu untuk sekedar menulis sms. Pikirku, mungkin baginya menulis beberapa kalimat di atas komputer meja kerjanya lebih baik daripada harus menulis pesan di HP-nya. Uniknya lagi, selama ku menghubungi beliau via sms, bisa dipastikan tertulis pending pada laporan terkirim di sms-ku yang pertama. Terpaksa, ku harus mengirimnya beberapa kali. Bukan terpaksa karena pulsa, namun rasa sungkan yang menggelayuti. Kenapa harus beberapa kali. Ya, semoga ia mengerti. He-he-he.
Pembicaraanku dengannya yang hanya beberapa menit itu, melahirkan kesepakatan bahwa saya boleh berkunjung ke kantornya jam satu siang nanti. Alhamdulillah, orang sesibuk beliau mau meluangkan waktunya untuk bertemu denganku. Bagiku ini suatu penghargaan yang luar biasa. Wuahh.., semakin penasaran rasanya. Semakin dekat, waktu pun semakin lambat berputar. Aku akan bertemu dengan sang habaib jurnalis! Akhirnya.
Ku telusuri jalan yang penuh polusi dengan salah satu temanku menuju Graha Pena. Lincahnya temanku dalam mengemudikan motornya membuat perjalanan kami lebih lancar daripada kendaraan lain yang harus antri berebut menjadi yang terdepan dengan kendaraan-kendaraan lainnya. Lantai empat, kantor Radar Surabaya, menjadi tujuan utamaku dalam bangunan megah Graha Pena itu. Dengan lift, dalam hitungan detik saja ku sudah sampai di lantai empat. Sekedar bercerita, sangat sulit bagiku untuk mengoperasikan lift. Sekali lagi, untungnya ku bersama temanku yang sudah terbiasa menggunakan jasa lift. Ku bingung, mana yang harus dipencet, mana lift yang naik, mana lift yang turun. Hadoh, benar-benar gadis desa. Akhirnya, dengan langkah yang sok pasti, ku langkahkan kaki tuk menuju kantor redaksi Radar Surabaya yang jaraknya hanya beberapa langkah dari pintu lift yang kami naiki.
Seperti biasa, dua mbak cantik yang duduk standby di kursi resepsionis menyambut kami dengan ramah. Selamat siang! ada yang bisa kami bantu?. Langsung saja ku utarakan tujuanku menyerang polusi di siang bolong ini. Kembali mbak cantik itu melontarkan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang membuatku heran tuk kesekian kalinya. Dia bertanya, Apa sudah janjian dengan beliau?. Wuih, keren banget! Pakek janjian segala, batinku. Dengan tegas disertai senyum ku menjawab, Sudah mbak. Bilang ja Rifqatul Husna dari Probolinggo. Dengan langkah sigap namun tetap feminin, mbak cantik itu langsung berjalan ke salah satu sudut ruangan di sana untuk menemui Habib Djoko Pitono. Sesaat kemudian, mbak itu kembali datang dan mengatakan, Duduk dulu ya dek, tunggu sebentar. Ku balas hanya dengan anggukan dan senyumku. Oey, ku benar-benar bakal ketemu!.
Tak lama kemudian, di tengah dag-dig-dug ku menyambut pertemuan pertama, tiba-tiba dari ruangan belakang resepsionis keluar seorang laki-laki dengan membawa buku di tangan kanannya. Tinggi badan yang menurutku bisa dibilang sedang (seperti orang-orang kebanyakan) dan lebar badan yang proposional pula. Dia keluar ruangan dengan mimik yang sedikit menampakkan bingung. Dia lirik dan toleh kanan-kiri seakan-akan ada yang dituju. Diakah? Ku bilang tidak. Karena sama sekali dia tak seperti lukisan yang telah diyakini oleh jiwaku. Kaos pendek yang terkesan santai dengan dilapisi jaket hitam agak tebal, membaluti penampilannya. Tapi, jika ku ingat lain sisi dari sosok beliau, bisa jadi dia berpenampilan seperti itu. Mengapa tidak. Sekilas dari cerita-ceritanya yang kudengar lewat telepon, menurut penilaianku dia termasuk orang yang fleksibel. Dapat bergaul dengan siapa saja. President, Perdana Menteri, para pejabat tinggi, Gubernur, Pak Camat, Kiyai, penjual, bahkan tukang becak sekalipun. Dan bagiamana dengan mahasiswi sepertiku? Ya pastinya juga dapat bergaul asyik dengan kami mahasiswi. Beliau pernah menjadi dosen sastra Inggris di Universitas ternama.
Ya, pikiranku mulai kembali melukis bayangan tentangnya. Lukisan yang tentunya sangat berbeda dengan hasil lukisan yang pertama. Ya! Ku semakin yakin, dialah orang yang akan kutemui. Dia mulai mendekat dan tersenyum ke arah kami. Memberikan sapaan hangat lewat tatapan matanya yang akrab dan bersahaja. Pak Djoko Pitono?, tanyaku. Hanya dengan anggukan kecil dia menjawab pertanyaanku. Owh, dia, dia, dia.
Kesan pertama, beliau sangat sederhana dan bersahaja. 1001 kutemui orang-orag seperti beliau di Indonesia. Beliau merupakan Direktur Utama di Radar Surabaya. Beliau juga aktif mengisi diklat-diklat jurnalistik di banyak daerah di Indonesia. Tidak hanya itu, beliau juga sering diundang keluar negeri oleh berbagai media harian cetak. Benar-benar hebat. 1001 dari sosok beliau tak hanya di sana, atau sebenarnya tidak pada di sana. Justru 1001 beliau di sana adalalah, sifat kesederhanaan yang selalu setia menemani beliau. Bisa-bisanya orang sehebat beliau, tokoh Indonesia sekaliber beliau, masih menggunakan motor sederhana sebagai saksi bisu dalam menjalani rutinitas kesehariaannya. Sungguh sangat kontras. Sangat kontras dengan keahlian yang beliau miliki. Super! Super juga untuk negara kita Indonesia. Negara yang masih rela melihat kesederhanaan yang selalu melekat pada anak bangsanya. Anak bangsa yang sudah jelas mengharumkan negara dengan prestasi emasnya. Sebaliknya, negara yang selalu tidak tega membiarkan kesederhanaan menyelimuti, bahkan walau hanya sekedar menghampiri para pejabat negara dan kawan-kawannya. Kasihan. Namun ku tak tahu jelas siapa yang seharusnya ku kasihani.
Kesan kedua, semangat dan gigih. Kesan kedua ini kudapatkan jelas ketika ku diajak masuk menuju kantornya. Sebuah ruangan lebar yang kurang lebih berukuran sederhana itu, dipenuhi oleh puluhan komputer yang berbaris rapi. Sepertinya, satu komputer untuk satu karyawan. Satu meja dengan dua rak yang bisa dibilang lebar juga menjadi fasilitas untuk para karyawan. Jejeran kursi putar yang ada menambah kesan yang lebih elit dalam ruangan yang sungguh terang karena cahaya lampu besar yang tertempel rapi di dinding ruangan itu. Tak bosannya mataku menyapu seluruh ruangan yang ada. “Kesempatan”, pikirku. Beberapa saat kemudian, di tengah asyiknya ku menikmati kerapian benda yang ada, tiba-tiba mataku tertuju pada satu titik. Satu meja yang sungguh berbeda. Sekilas, sekali lagi sekilas, bisa dibilang meja tersebut meja yang merusak tatanan kerapian ruangan yang ada. Bagaimana tidak? Beratus tumpukan buku, tumpukan puluhan koran, turut bertengger di meja pojok dekat jendela di sebelah selatan itu. Mungkin, jika ingin tidak merusak kerapian yang ada, dibutuhkan 5 meja untuk menampung barang-barang yang tak terhitung jumlahnya itu. Namun bagiku, itu merupakan sebuah keistemewaan. Menurutku, memang seperti itulah seharusnya seseorang yang aktif di bidang jurnalistik. Seseorang yang memang dapat diandalkan kesubstansialnya. Tidak hanya cover indah yang ditonjolkan dengan harapan agar terkesan hebat. Ternyata tanpa kusadari, ku megikuti langkah Pak Djoko Pitono mendekati meja unik tadi. Ya, ternyata meja itu milik Pak Djoko Pitono. Menurutku, tumpukan buku dan koran yang ada sangat cukup menjadi bukti akan kesungguhan beliau di bidang kejurnalistikannya. Selain itu, arsip tulisan-tulisan beliau sejak tahun 80-an dan arsip undangan-undangan dari luar negeri turut berbisik jelas padaku bahwa beliau memang mempunyai semangat yang gigih serta kemauan yang keras dalam mewujudkan keinginannya. Memang itulah sebenarnya yang benar, keahlian yang mengantarkan pada keprofesionalan seseorang. Bukan kekayaan atau kedudukan yang dimiliki kawan sekitar. Oya! Satu lagi! Ku juga melihat, dua kertas wesel. Tertulis, Rp. 7.500 tahun 1980 dan Rp. 35.000 pada tahun 1985. Mungkin honor dari nulis ya!
Kesan ketiga, bergaul dengan semua kalangan. Sekian jabatan yang menyilaukan mata mayoritas masyarakat, banyak menghampirinya. Pegawai negeri, jabatan tinggi di salah satu ormas di Indonesia, Profesor, dan banyak lainnya. Namun, tak satupun beliau terima. Alasannya simpel dan mulia. Beliau tidak mau terikat dengan satu institusi atau peraturan tertentu. Alasan yang diutarakannya, dengan memiliki jabatan-jabatan tersebut beliau tidak akan mudah bergaul dengan banyak orang. Parahnya lagi, berdasarkan keadaan yang sering kulihat, biasanya dengan jabatan yang tinggi, sulit untuk menunduk sekedar melihat lapisan masyarakat bawah. Ya walaupun memang tidak semuanya. Berjalan tanpa atribut sana-sini memang lebih mudah melihat apa yang terjadi dan apa yang sebenarnya dirasakan. Benar-benar wartawan yang dpat diandalkan. Sungguh indah.
Kumandang adzan Ashar remang-remang masuk dalam ruangan yang menjadi saksi bisu dalam pertemuan pertamaku dengan Pak Djoko Pitono. Syahdunya adzan mengingatkanku agar ku segera meninggalkan tempat yang ku rindu itu. Tepat setelah Ashar, ku dan salah satu temanku yang lain akan bernostalgia ke pondokku, Tambak Beras Jombang. Mau tidak mau, dengan berat hati ku mohon pamit untuk mengakhiri pertemuan.
Dialog dua jam yang mengalir hangat harus diakhri. Beliau mengajari banyak hal dalam dialog ketika itu. Memberikan semangat ekstra pada kami untuk terus menulis, menulis, dan menulis. Temanku yang sebelumnya sama sekali tidak mengenalnya, mendadak turut haru dan kagum pada kepribadian beliau. Dengan segera dia mengusap kemilau cair bak kristal yang keluar dari matanya. Di akhir pertemuan kami, beliau memberiku buku TKW Menulis dan juga memberi temanku ibuku dengan judul Orang Miskin Boleh Sehat. Jelas! Pemberian tersebut menjadi motivasi tetrsendiri bagi kami. Kemudian, kami beranjak dari tempat duduk dan meja bundar di tengah ruangan yang menjadi tempat tumbuhnya semangat kami saat ini.
Sebenarnya, tulisan ini lahir karena perintah dari beliau. Perintah yang memang sengaja kuminta. Suatu kebanggan bagiku menulis sesuatu atas permintaan beliau. Coba kamu tulis agenda harian kamu hari ini. Perintahnya di akhir pertemuan pertama itu. Tulis apa saja yang ada dipikranmu. Misalnya, ku bertemu dengan Pak Djoko Pitono. Dia orang yang sudah tua alias lanjut usia. Dia keturunan habib. Berasal dari Hadlromaut. Dia orangnya pamer, riya’, dan yang lainnya", lanjutnya. Ha-ha-ha. Seketika itu juga kami tertawa menyusuli ucapannya.
Dengan tatapan mata yang lebih semangat dalam menatap kehidupan, kami berjalan meninggalkan gedung Graha Pena. Senyum manispun, tak henti-hentinya menghiasi wajah kami. Jiwa kami boleh meninggalkan Graha Pena, namun raga kami masih terngiang-ngiang nasehat-nasehat beliau yang memberikan suntikan ampuh pada kami. Bersamaan kami mengulang kata-kata emas beliau, Ada 4 hal yang tak mungkin lepas dari kehidupan kita. Mendengar, melihat, membaca, dan menulis. Publish or (rusak)!”.
Ya begitulah sekelumit tentang beliau. Sebenarnya masih banyak hal lain yang belum saya sampaikan tentang beliau. Tapi kurasa, tak mungkin ku uraikan semua. Cukup kuungkap kesan pertama, kedua dan ketiga yang sungguh mengoda. Selanjutnya, terserah Anda! He-he-he.

1 komentar: Leave Your Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Made with by Odd Themes

© 2013 Odd Themes, Inc. All rights reserved.