Haji Ditunaikan, Rakyat Miskin Ditelantarkan


Para jama’ah haji di Indonesia sudah diberangkatkan. Kloter pertama sudah diberangkatkan 10 Oktober lalu. Ritual tahunan ini menjadi dambaan setiap kaum Muslim. Karena dengan bisa melaksanakan ibadah ini, maka ia sudah menyempurnakan rukun Islam yang lima.

Para ulama’ membagi rukun Islam menjadi tiga bagian. 1) Ibadah badaniyah, yakni shalat dan puasa, 2) ibadah maliyah, yakni zakat, dan 3) ibadah badaniyah dan maliyah yakni haji.

Dari klasifikasi rukun Islam di atas, dapat dilihat bahwa haji merupakan satu-satunya ibadah yang berkaitan dengan keduanya, yakni badaniyah dan maliyah. Namun ironisnya banyak para calon jama’ah haji yang mengenyampingkan masalah maliyah. Mereka hanya memikirkan bagaimana kesiapan dalam melaksanakan ibadah. Mulai dari mempersiapkan apa yang dibutuhkan, belajar cepat cara ibadah dan do’a, memeriksa kesehatan dan sebagainya. Mereka tidak pernah memikirkan dari mana sebenarnya biaya haji yang mereka nikmati. Sepulang dari tanah suci dengan bangganya mereka juga menceritakan peristiwa yang mereka alami di sana. Baik pengalaman dalam menikmati indahnya ibadah di tanah suci maupun sampai pada pengalaman berbelanja.

Terdapat faktor yang bervariasi ketika para jama’ah menceritakan pengalamnnya saat berhaji; merenungkan keagungan Tuhan, sebagai motivasi bagi mereka yang belum naik haji, atau hanya sekedar berbagi pengalaman dengan yang lain.

Di Indonesia jamaa’ah haji setiap tahunnya menunjukkan angka yang sangat bombastis. Dalam setiap tahunnya bisa dipastikan jumlah jama’ah haji di Indonesia akan selalu bertambah. Hal ini menunjukkan akan antusias warga untuk melakukan ibadah haji. Bahkan banyak di antara mereka yang melaksankaan haji beberapa kali. Namun sayangnya, mengapa jumlah jama’ah haji yang semakin meningkat, juga diimbangi dengan jumlah kejahatan, korupsi, dan kriminal yang semakin meningkat juga? Belum lagi kemiskinan yang merajalela di negara kita ini.

Selayaknya, ketika jumlah jama’ah haji meningkat, maka jumlah keresahan yang ada di negara kita ini semakin menurun. Karena sebenarnya bukankah tujuan dari jama’ah haji adalah menyempurnakan rukun Islam kita? Yang setelah menunaikannya diharapkan dapat menjadi insan yang lebih religi. Entah apa yang menyebabkan kontrasnya keadaan ini. Atau memang akankah tidak ada kaitan antara keduanya?

Ali Syari’ati salah satu intelektual muslim yang berasal dari Iran, dalam bukunya “Hajj: Reflections on It’s Ritual” menyebutkan, bahwa esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji adalah sebagai simbolik. Sebenarnya ada hal lain yang lebih penting dari peristiwa ibadah haji tersebut. Yaitu, tidak hanya selalu dan terus memikirkan praktik ritual dari ibadah haji itu sendiri. Para jama’ah haji juga harus memikirkan tentang bagiamana mereka dapat mengaplikasikan evolusi iman mereka terhadap lingkungan sekitarnya. Baik melalui hal yang bersifat vertikal maupun horizontal.

Dari segi vertikal, misalnya dengan meningktakan ibadahnya kepada Allah, lebih memperhatikan dan menjalankan apa yang jadi perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Sedangkan dari segi horizontal, misalnya dengan lebih berbuat baik kepada orang lain, dan yang terpenting adalah lebih peduli terhadap saudara di lingkungan sekitarnya. Banyak saudara di kanan-kiri mereka yang masih kosong dari sandang, pangan, dan papan mereka butuhkan. Mana uluran tangan mereka (wong kaya)? Tidakkah ada hak “saudara” kita dalam harta mereka? Bahkan dalam harta yang cukup untuk dibuat haji di setiap tahunnya.

Kemiskinan di Indonesia masih terus merajalela. Jumlah kemiskinan saling berlomba dengan jumlah calon jama’ah haji yang ada. Banyaknya jama’ah haji di Indonesia tidak serta merta menghilangkan keresahan atau kemiskinan yang merajalela di sekitar mereka. Tidak tergugahkah hati mereka untuk memberikan hartanya kepada fakir-miskin yang lebih membutuhkan dari pada pergi beberapa kali ke tanah suci, akan tetapi lingkungan di sekitar mereka masih banyak yang tidur beratapkan langit dan beralaskan hamparan bumi? Mereka yang untuk sesuap nasipun masih tak ada. Manakah evolusi religi mereka sebagai para haji? Bahkan bagi mereka yang senantiasa meng up-date status haji di setiap tahunnya.

Melihat fenomena yang demikian, selain dari kesadaran individu jama’ah haji tersebut, selayaknya pemerintah juga berpikir kembali untuk mensiasatinya. Bagaimana jumlah jama’ah haji meningkat di setiap tahunnya, dan bagaimana jumlah kemiskinan dapat semakin menurun di setiap tahunnya. Misalnya, pemerintah bisa mensiasatinya dengan mengambil sebagian keuntungan pemerintah dari jama’ah haji untuk diberikan pada orang fakir miskin di negeri ini, atau misalnya dibuat anggaran baru untuk kemiskinan dalam sekian persen dari biaya haji, khususnya bagi biaya jama’ah haji yang sudah berkali-kali, dan sebagainya.

Taruhlah contoh, dalam koran baru.com tentang jumlah jama’ah haji disebutkan bahwa, jumlah jama’ah haji untuk Indonesia tahun 2010 adalah 211 ribu jama’ah. Jumlah ini meningkat 4 ribu dari tahun sebelumnya. Seandainya para jama’ah tersebut menyisakan 100 ribu saja dari uang mereka, maka Rp. 21.100.000.000,- akan “saudara” kita nikmati. Alangkah bahagianya mereka.

Memang, perjalanan haji ke tanah suci tidak memandang kaya miskin seseorang. Perjalanan kesana merupkan “panggilan Tuhan” untuk para hamba-Nya. Namun, apakah mereka tidak mendengar, dalam deraian air mata dan jeritan tangis saudara kita juga merupakan “panggilan Tuhan”?

Alkisah, diceritakan dalam kitab karya Imam al-Ghazali “Ihya’ Ulum ad-din, bahwa ada salah seorang alim yang tertidur lelap karena payah dalam perjalanan mencari kearifan hidup. Dalam mimpinya malaikat bercerita kepadanya tentang haji mabrur. Di antara sekian jama’ah haji, hanya terdapat satu jama’ah haji yang mabrur, sembari malaikat menunjukkan ciri orang tersebut. Namun, betapa kagetnya sang alim tersebut ketika mengetahui bahwa si Fulan yang disebutkan tersebut sedang tidak menunaikan jama’ah haji. Setelah diusut, ternyata dia telah mensedekahkan harta yang dia kumpulkan sedikit demi sedikit untuk naik haji kepada fakir-miskin yang sangat membutuhkan. Padahal ketika itu hartanya sudah mencukupi untuk digunakan naik haji. Wallahu a’lam bis showab.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Made with by Odd Themes

© 2013 Odd Themes, Inc. All rights reserved.