Ma Yan dan Kekuatan Mimpinya

Orangtua adalah orang yang sangat berjasa dalam hidup kita. Tanpanya, kita tidak akan lahir ke dunia ini. Kasih sayangnya tanpa pamrih. Dengan ikhlasnya semua hal dilakukan demi seorang anak. Pengorbanannya pun tak tertandingi. Tanpa kenal lelah, badai angin dan bara api dilibasnya. Semuanya demi kita.

Lihat saja, sewaktu di dalam perut ibu, sembilan bulan kita menghisap darahnya. Saat itu, ibu sulit berdiri, berat ketika berjalan, dan bahkan berbaring pun sakit. Tiga bulan pertama terasa mual dan muntah karena ada kita di perutnya. Ketika kita akan terlahir ke dunia, ibu meregang nyawa antara hidup dan mati. Meskipun bersimbah darah dan sakit tiada terperi, tapi ibu tetap rela dengan kehadiran kita. Setelah lahir, satu persatu jari kita dihitungnya dan dibelainya.

Di tengah rasa sakit, beliau tiba-tiba tersenyum dengan tetesan air mata bahagia melihat kita terlahir. Dan saat itu pula, ibu berharap dan berkeyakinan akan lahir anak yang saleh-shalehah yang memuliakannya.

Betapa mulianya beliau. Untuk itu, kita harus menghormati dan patuh terhadap orangtua. Kita harus dengan patuh ketika diperintah orangtua. Kita harus dengan ikhlas ketika membantu orangtua. Dan kita harus dengan santun ketika berbicara dengan orangtua.

Dari saking mulianya orangtua, Islam sampai melarang untuk memaki ibu-bapak (orangtua) orang lain, sebab setiap kali kita memakimaki orangtua orang lain, maka bisa jadi akan mengundang orang itu untuk memaki orangtua kita. Dan itu adalah kedzaliman bagi orangtua.

Hal itu, disadari oleh Ma Yan, gadis kecil China, yang hidup di pedalaman China. Ma Yan yang dalam kesehariannya hidup serba kekurangan tidak menuntut lebih dari kedua orangtuanya.

Meski orangtuanya hanya bisa membayar uang sekolah dan menyerahkan beras sebanyak 25 kilogram kepada pihak sekolah setiap semesternya; tak ada uang jajan dan uang lebih untuk membeli alat tulis, Ma Yan tidak pernah mengeluh. Ia tetap menjalani dengan santai, meski tidak jarang harus menahan haus dan lapar, karena kekurangan dan kehabisan bekal.

Pernah, suatu ketika, Ma Yan harus menahan lapar terus menerus selama 15 hari, demi sebuah pena. Selama itu, ia hanya makan nasi putih, tanpa lauk. Semua itu ia palingkan ke orangtuanya. Orangtuanya tidak boleh tahu, karena Ma Yan tidak mau menambah beban orangtua yang dalam kesehariannya sudah banting tulang, demi sekolahnya dan adik laki-lakinya.

Kisahnya, suatu hari ketika Ma Yan menemani temannya ke pasar, ia melihat sebuah pena yang sangat indah (hal. 59-84). Harganya 2 yuan. Ia pun tertarik untuk memilikinya, tapi sayang Ma Yan tidak mempunyai uang.

Keinginan Ma Yan tidak cukup sampai di situ. Ia berkeyakinan bisa memiliki pena itu. Akhirnya, demi pena itu, ia menyimpan bekal 1 yuan, jatahnya selama satu minggu. Akibatnya, ia tidak bisa membeli sayur untuk lauk makannya dan terpaksa bertahan dengan hanya memakan semangkok nasi putih yang hambar setiap harinya.

Untuk membuat selera makan menjadi sedikit bersahabat, meski tanpa lauk, Ma Yan bermain dengan lamunan. Ia membayangkan ibunya sedang merebuskan daging untuknya. Menyiapkan kaldu, yang harum kuahnya sampai meresap hidung. Teori lamunan ini, Ma Yan lakukan selama satu minggu.

Minggu berikutnya, ternyata sang ayah tidak memiliki uang sehingga ia tidak mendapatkan 1 yuan lagi untuk melengkapi simpanannya dan membeli pena itu. Terpaksa ia “berpuasa lagi”, seperti satu minggu sebelumnya, dengan tetap mempertahankan teori lamunannya. Namun apalah daya, ternyata teori lamunan itu tidak ampuh di minggu kedua.

Bayangkan! Namun, Ma Yan tetap menjalaninya dengan penuh keikhlasan tanpa mengeluh, meski pada minggu kedua ini “pengorbananya” lebih menyiksa. Ia menggambarkan masa penantiannya itu dengan kalimat; “Sekeping yuan itu bagai seorang pengantin yang menunggu pasangannya”.

Seminggu kemudian, barulah ia memperoleh 1 yuannya yang lain dan berhasil membeli pena, yang kemudian menjadi barang paling berharga baginya. Dengan pena itu Ma Yan menaruh harapan. Harapan yang dapat mendukung proses pembelajarannya.

Kisah ini terangkum dalam buku “Ma Yan: Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Pedalaman China untuk Meraih Pendidikan”. Kisah yang diangkat dari kisah nyata ini sarat dengan semangat dan inspirasi, sehingga cocok sekali untuk dibaca bagi para pejuang mimpi. Kisah yang penuh teladan.

Ada beberapa teladan yang dapat diambil pelajaran dalam buku ini. Pertama, bakti kepada orangtua. Kedua, perjuangan dalam menggapai pendidikan. Ketiga, kerja keras dalam mencari nafkah. Dan keempat, pasrah pada takdir dengan usaha yang cukup (tawakkal).

Selanjutnya, layaknya tidak ada sebuah karya yang sempurna, dalam buku ini tidak ditulis dengan satu sudut pandang. Buku ini ditulis dengan dengan sudut pandang Ma Yan dan ibunya, secara bergantian. Selain itu, buku ini ceritanya terasa kurang tuntas dalam penyelesaian cerintanya, sehingga endingnya terasa mengembang.

Data Buku
JUDUL BUKU : Ma Yan: Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Pedalaman China untuk Meraih Pendidikan
PENULIS : Sanie B. Kuncoro
PENERBIT : Bentang Pustaka, Yogyakarta
CETAKAN : Pertama, 2011
TEBAL : viii + 228 halaman
ISBN : 978-602-8811-42-2

Dimuat di Radar Surabaya (11/12/2011)

1 komentar: Leave Your Comments

  1. review yang bagus...
    salam kenal dari saya

    Helvry
    http://blogbukuhelvry.blogspot.com

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.

Made with by Odd Themes

© 2013 Odd Themes, Inc. All rights reserved.