Pesan Sosial dalam Secangkir Kopi

Saya tidak menyangka bisa tertarik dan larut dalam membaca buku kumpulan cerita dan prosa karya Dee-nama pena dari Dewi Lestari-yang pada tahun 2006 terpilih sebagai karya sastra terbaik pilihan Majalah Tempo ini. Pasalnya, di awal saya membaca buku setebal 139 ini isinya datar-datar saja, seakan tanpa makna. Namun dugaan saya meleset; meski penyuguhan cerita dan prosa-prosanya singkat, ternyata menantang saya-dan saya yakin juga pembaca yang lain-untuk terus berpikir dan akhirnya manggut-manggut karena sepakat dengan filosofi-filosofi yang ditampilkan Dee di baliknya.

Benar apa kata Goenawan Mohammad bahwa sebuah karya yang tidak ruwet, bahkan terang benderang, tak berarti tanpa isi yang menjentik kita untuk berpikir (hal. xii). Jika dalam bahasa dan sastra inggris ada istilah wit yang terjemahan Indonesianya mungkin cerkas, maka karya Dee ini mengungkap kecerkasan dalam sastra Indonesia.

Sedari awal cerita, tepatnya pada judul Filosofi Kopi, yang kemudian menjadi judul buku ini, sudah tampak bagaimana Dee mengungkap kecerkasan karya sastra lewat cerita seorang temannya, Ben, dengan sebuah kedai kopinya di Jakarta yang terus berusaha menyajikan kopi dengan aroma memikat, yang diadopsinya dari beberapa negara luar; Roma, Paris, Amsterdam, Paris, London, New York, dan Moskwa.

Menu andalannya yang dikenal dengan Ben's Perfecto dipercaya tidak ada kopi lain yang menandingi enaknya Ben's Perfecto olahannya. Dengannya Ben lega dan tampak sempurna karena racikan kopinya menjadi andalan banyak orang. Namun, siapa sangka, akhirnya Ben's Perfecto olahan Ben kalah jauh-dan ini yang akhirya membuat Ben menjadi droup karena tidak bisa menerima kenyataan-dengan kopi Tiwus seorang kakek tua di pedesaan yang menyajikannya dengan cara cuma-cuma kepada pengunjung warungnya.

Kisahnya, suatu pagi, ada pengunjung kedai kopi Ben memesan secangkir kopi ingin membuktikan penuturan salah seorang temannya yang mengatakan bahwa kopi racikan Ben sangat enak. Dengan sambutan ramah ala Ben, dia pun menyajikan secangkir Ben's Perfecto untuknya. Di luar dugaan Ben, pengunjung yang mengaku kopi ibarat jamu sehat baginya, menilai Ben's Perfecto yang katanya terenak di dunia di matanya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa.

Mendapatkannya, Ben merasa terpukul dan mengintrogasi pengunjung yang satu itu untuk mengungkap racikan kopi orang lain yang lebih enak dari Ben's Perfecto-nya. Singkat cerita, akhirnya pengunjung tersebut meberitahukan di mana letak sekaligus rute yang dimaksud. Seakan tidak terima karena kopi andalannya tertandingi oleh orang lain, Ben menelusuri kebenaran perkataan pengunjung kedai kopinya pagi itu. Dengan membawa rute yang sudah digenggamnya, Ben menyusuri pedesaan di Jawa Tengah mencari warung kopi yang katanya enak. Setelah muter-muter tidak satupun warung kopi ditemukan yang sesuai seperti penuturan bapak pengunjung waktu itu-hingga akhirya sesuai petunjuk seorang perempuan setelah bertanya, ditemukan warung reyot dari gubuk kecil berdiri di atas bukit kecil, milik Pak Seno. Di warung Pak Seno itulah ditemukan kopi Tiwus yang benar-benar enak. Anehnya, kopi Tiwus Pak Seno itu disajikan secara cuma-cuma alias gratis, tanpa mengharap bayaran dari pengunjung. Di sinilah, Ben benar-benar tidak terima karena penuturan bapak pengunjung kedai kopi Ben waktu itu benar. Sebabagai efeknya, Ben sering menghabiskan hari-harinya dengan kemurungan, seakan meratapi suatu kekalahan.

Isi cerita di atas seakan datar tanpa makna, tapi lebih dari itu cerita di atas menyiratkan akan pentingnya penanaman rasa ikhlas dan rendah hati pada diri kita masing-masing. Dengan landasan iklas dan apa adanya, kopi Tiwus Pak Seno tanpa diharap dan direncakan melebihi kopi-kopi di perkotaan seperti Ben's Perfecto racikan Ben dan sejenisnya yang dielu-elukan tanpa kontrol hati yang maksimal, seperti yang tergambar pada sosok seorang Ben yang bisa dibilang sombong karena racikan Ben's Perfecto-nya. Siratan seperti cerita pertama di atas, juga tampak pada judul-judul selanjutnya dalam buku yang berisi 18 belas cerita dan prosa dengan variasi yang berbeda-beda, di mana semua judul itu sempat menjadi 5 Besar Khatulistiwa Literary Award pada tahun 2006 silam.

Salah satu ciri Dee dalam setiap karyanya-termasuk dalam buku ini-adalah penuturannya yang senantiasa memikat pembaca. Ritme kalimat yang dituliskan Dee menunjukkan kepekaannya pada setiap deret dan baris kalimatnya. Meminjam istilahnya Goenawan Mohammad, ketika kalimat Dee harus berhenti atau terus, ia tidak hanya karena isinya yang selesai atau belum, tapi karena ada momen yang tepat ia menyentuh, mengejutkan, membuat pembaca tersenyum, atau memesona. Tidak cuma itu, Dee juga selalu peduli pada hal yang terkecil sekalipun. Seperti dalam ejaan dan grammar penulisannya. Ketika harus memasukkan kata dan bahasa asing, dengan luwes, tanpa terasa direkayasa, Dee memasukkannya melalui asimilasi atau breack of contract.

Akhir kata, sebagaimana racikan kopi, karya Dee ini tersaji dengan aroma khas, harum, menyegarkan, dan nikmat. Meski ada rasa pahit, tapi di balik kepahitan itulah khas kopi dapat tersaji. ***

Data Buku
Judul : Filosofi Kopi
Penulis : Dee/Dewi Lestari
Penerbit : Bentang, Yogyakarta,
Cetakan I (pertama) Januari 2012
Tebal : 139 halaman
ISBN : 978-602-8811-61-3
Harga : Rp. 47.000,00
*dimut di Harian Bhirawa (1 Juni 2012)

1 komentar: Leave Your Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Made with by Odd Themes

© 2013 Odd Themes, Inc. All rights reserved.