Sebuah "HANYA" untuk IRT

“Sudah dek, gak perlu sedih! Prestasi akademik waktu kuliah itu bukan sebuah ukuran atas kesuksesan seseorang. Ada kok teman mbak. Semasa kuliah dulu dia selalu menjadi yang terbaik, IPK di atas rata-rata. Tapi, coba lihat sekarang. Dia hanya menjadi seorang ibu rumah tangga..”.


OO..ooh, tidaaak! Kenapa harus ada statemen seperti itu??.

Entah kenapa, setiap mendengar kata Ibu Rumah Tangga, bisa dibilang saya sangat sensitif. Bahkan ketika saya sedang asyik membicarakan hal lain, tiba-tiba mendengarkan sesuatu yang berbau IRT, rasanya telinga dan hati tak dapat dikompromi. Mereka berdua langsung selingkuh pada pembahasan IRT yang sedang dibicarakan.

Apa karena saya memang menjadi Ibu Rumah Tangga tulen? Bisa jadi. Atau karena tidak terima kok sepertinya IRT dipandang sebelah mata? Atau memang saya termasuk orang ynag sensitif bangeeeeet? Heeheehee....,

Sepertinya, ketiga-tiganya merupakan jawaban yang benar. Saya memang IRT tulen, yang itu pastinya menyebabkan saya jauh lebih sensitif dari pada yang lain. Maklum lah, pelaku!. Awalnya saya merupakan salah satu tenaga pengajar di madrasah swasta dan madrasah diniyyah di salah satu pesantren. Otomatis, pagi hari saya di sekolah swasta dan malam ,harinya saya di madrasah diniyyah. Satu tahun kemudian, Alhamdulillah saya diberi anugerah anak yang ke-2 oleh Allah swt. Jarak anak kedua yang bisa dibilang sangat dekat dengan anak yang pertama, satu tahun setengah.

Mengingat amanah dan anugerah luar biasa yang Allah berikan ini, saya memutuskan untuk berhenti mengajar dan memilih menghabiskan waktu bersama mereka. Sungguh, keputusan yang sebenarnya banyak disayangkan oleh yang lainnya, tapi maaf. TIDAK BAGI SAYA. ;)

Jika dibilang saya egois (lha yo, dari mana ya?), ya maaf. Tapi saya rasa, justru karena saya berhasil menghilangkan yang awalnya saya merasa itu ke-‘ego’an saya, akhirnya keputusan IRT itu saya ikrarkan. Saya rasa, saat ini orang-orang sudah banyak sekali yang memperebutkan untuk menjadi pengajar di beberapa lembaga. Sedangkan untuk merawat anak dan menjadi Ibu Rumah Tangga Tulen, sepertinya sudah mulai krisis. Jadi saya berhenti, Why Not? Masih buanyak pengganti untuk saya di lembaga, tapi untuk dua anak balita di rumah? Siapa yang akan menemani mereka?. Lagi-lagi, MAAF. Tidak saya izinkan orang lain untuk selalu menjadi The First One, melihat tahap demi tahap perkembangan anak saya. Karena sungguh luar biasa. Melihat mereka tersenyum dan tumbuh kembang dengan baik di tangan kita, merupakan hal yang sangat membahagiakan.

Membicarakan ke-‘ego’-an yang saya utarakan, terus terang (mau jujur apa jujur banget ya..., hehehe..), beberapa bulan setelah menikah, saya ingin untuk menjadi wanita yang tidak hanya melakukan segala aktifitas di rumah. Bagi saya (ingat! Ketika itu lho ya..!), saya merasa keren banget seorang wanita yang setiap pagi memakai baju dinas, berangkat kerja, dan pulang. Pagi kerja, malam untuk keluarga, kenapa tidak? Terlebih ketika masih banyak orang-orang, -bahkan orang-orang yang berpendidikan- di sekeliling saya, beranggapan bahwa perempuan yang bisa beraktifitas di luar rumah, merupakan perempuan yang hebat, perempuan yang sukses. Sebaliknya, perempuan yang total beraktifitas di rumah dianggap perempuan yang HANYA. Ya, HANYA beraktifitas di rumah. Dari sanalah saya ngebet pakek banget, untuk menjadi ibu rumah tangga yang go publik. Tapi....,

TIDAK untuk saat ini. Berawal dari tekad ingin merawat anak fulltime, dan dukungan penuh dari suami tercinta, saya mulai sadar akan pentingnya peran dan kehadiran ibu bagi anak-anak, khususnya anak usia balita. Seperti yang kita tahu, balita merupakan masa keemasan dimana, semua yang mereka lihat, alami, dan rasakan akan sangat melekat pada diri mereka. Di saat itulah peran ibu sangat dibutuhkan. Ibu yang bisa menjadi ibu, teman, sahabat, dan menjadi apapun yang mereka butuhkan. Tidak bisakah peran ini diganti dengan orang lain? Bisa. Tapi, apakah bisa ikatan batin antara ibu dan anak dapat terganti dengan ikatan batin antara anak dan orang lain?. Jika jawabannya “tidak bisa”, bagaimana anak-anak kita dapat memperoleh “rasa” yang mereka butuhkan jika tidak bersama ibu mereka? Dan jika pada akhirnya “bisa”, relakah posisi kita sebagai ibu, terganti oleh yang lain?

Mengurus anak-anak di rumah adalah bukan hal yang mudah dan dapat diremehkan. Jika kita bayangkan peran IRT (Jangan sambil merem ya.., ntr ketiduran, heee..) Mulai bangun tidur hingga tidur lagi, segala tingkah laku kita, segala yang kita ucapkan tak lepas dari perhatian anak-anak. Selama 24 Jam di rumah kita harus menjadi pendidik, dengan memberikan teladan yang baik bagi mereka. Melalui pembiasaan teladan yang baik dari kita inilah, karakter mereka mulai terbentuk. Belum juga dengan uji kesabaran yang mereka berikan pada kita. Bagaimanapun tingkah “nakal” mereka, kita harus bersikap halus dan lembut dalam menyikapinya. Kreasi mereka menjadikan rumah berantakan, baju yang mulai banyak tambahan warna di sana-sini, dan sikap mereka ynag sama-sama rebut perhatian ibunya, merupakan kegiatan yang tak mungkin absen dalam keseharian ibu rumah tangga. Sering sekali seorang ibu harus meninggalkan pekerjaan rumah yang lain, untuk menjadi robot, monster, penjual, dan hal apapun untuk menemani anak-anak bermain dalam mengembangkan keterampilan motorik dan komunikasi anak. Dan hal itu tidak mudah. Terlebih ketika kita sudah benar-benar lelah.

Dan belum juga, dengan kewajiban istri dalam mengurus dan melayani suami. Bangun lebih pagi dan menjadi penanggung jawab terhadap anak-anak dan semua yang ada di rumah ketika suami di luar. Suami mana yang tidak suka, jika dalam keadaan capek pulang kerja, setelah seharian beraktifitas di luar, disambut dengan senyum manis sang istri, makanan yang disediakan, rumah yang rapi dan indah, dan anak-anak yang lucu dan ceria. Semua laki-laki pasti mengimpikannya.

Bagi saya hal ini bukanlah hanya sekedar kewajiban yang harus dilakukan oleh istri dan ibu. Lebih dari itu, ada kenikmatan sungguh luar biasa yang hanya dapat dirasakan oleh Ibu Runah Tangga. 24 jampun rasanya tak kan pernah cukup untuk benar-benar menjadi Ibu Rumah Tangga. Subhanallah...., masihkah kita menganggap peran itu hanyalah sebuah HANYA?


Paiton, 0104’16 (23.21 WIB)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Made with by Odd Themes

© 2013 Odd Themes, Inc. All rights reserved.